Riba secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik, riba
juga berarti tumbuh dan membesar. Adapun menurut istilah teknis, riba berarti
pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Ada beberapa
pendapat dalam menjelaskan riba, namun
secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan
tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam secara batil
atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam.
Mengenai hal ini, Allah SWT mengingatkan dalam
firman-Nya
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil....” (an-Nisaa’: 29)
Dalam kaitannya dengan pengertian al-bathil dalam
ayat tersebut, Ibnu al-Arabi al-Maliki dalam kitabnya, Ahkam Al-Quran,
menjelaskan
“Pengertian riba secara bahasa adalah tambahan,
namu yang dimaksud riba dalam ayat Qur’ani yaitu setiap penambahan yang diambil
tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syariah.”
Yang dimaksud dengan transaksi pengganti atau
penyeimbang yaitu transaksi bisnis atau komersial yang melegitimasi adanya
penambahan tersebut secara adil, seperti transaksi jual beli, gadai sewa, atau
bagi hasil proyek. Dalam transaksi sewa, si penyewa membayar upah sewa karena
adanya manfaat sewa yang dinikmati, termasuk menurunnya nilai ekonomis suatu
barang karena penggunaan si penyewa. Mobil misalnya. Sesudah dipakai maka nilai
ekonomisnya pasti menurun jika dibandingkan sebelumnya. Dalam hal jual beli, si
pembeli membayar harga atas imbalan barang yang diterimanya. Demikian juga
dalam proyek bagi hasil, para peserta perkongsian berhak mendapat keuntungan
karena di samping menyertakan modal juga turut serta menanggung risiko kerugian
yang bisa saja muncul setiap saat.
Dalam transaksi simpan-pinjam dana, secara
konvensional, si pemberi pinjaman mengambil tambahan dalam bentuk bunga tanpa
adanya suatu penyeimbang yang diterima si peminjam kecuali kesempatan dan
faktor waktu yang berjalan selama proses peminjaman tersebut. Yang tidak adil
di sini adalah si peminjam diwajibkan untuk selalu, tidak boleh tidak, harus,
mutlak dan pasti untung dalam setiap penggunaan kesempatan tersebut.
Demikian juga dana itu tidak akan berkembang dengan
sendirinya hanya dengan faktor waktu semata tanpa ada faktor orang yang
menjalankan dan mengusahakannya. Bahkan ketika orang tersebut mengusahakannya
bisa saja untung bisa juga rugi.
Pengertian senada disampaikan oleh jumhur ulama
sepanjang sejarah Islam dari berbagai mazhahib
fiqhiyyah. Di antaranya sebagai berikut.
1. Badr
ad-Din al-Ayni. Pengarang Umdatl Qari
Syariah Shahih al-Bukhari
“Prinsip utama dalam riba adalah penambahan.
Menurut syariah, riba berarti penambahan atas harta pokok tanpa adanya
transaksi bisnis riil.
2. Imam
Sarakhsi dari Mazhab Hanafi
Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam
transaksi bisnis tanpa adanya iwadh (atau padanan) yang dibenarkan syariah atas
penambahan tersebut.
3. Raghib
al Asfahani
Riba adalah penambahan atas harga pokok
4. Qatadah
Riba jahiliyah adalah seseorang yang menjual barangnya secara tempo
hingga waktu tertentu. Apabila telah datang saat pemb ayaran dan si pembeli
tidak mampu membayar, ia memberikan bayaran tambahan atas penangguhan.”
5. Zaid
bin Aslam
“Yang dimaksud dengan riba jahiliyah yang berimplikasi pelipatgandaan
sejalan dengan waktu adalah seseorang yang memiliki piutang atas mitranya. Pada
saat jatuh tempo, ia berkata, “Bayar sekarang atau tambah””
6. Mujahid
Mereka menjual dagangannya dengan tempo. Apabila telah jatuh tempo dan
(tidak mampu bayar) si pembeli
memberikan ‘tambahan’ atas tambahan waktu.”
7. Ja’far
ash-Shadiq dari Kalangan Syi’ah
Ja’far ash-Shadiq berkata ketika ditanya mengapa Allah SWT mengharamkan
riba, “Supaya orang tidak berhenti berbuat kebajikan. Hal ini karena ketika
diperkenankan untuk mengambil bunga atas pinjaman, seseorang tidak berbuat
makruf lagi atas transaksi pinjam-meminjam dan sejenisnya, padahal qard
bertujuan untuk menjalin hubungan yang erat dan kebajikan antarmanusia.”
Imam
Ahmad bin Hanbal. Pendiri mazhab Hanbali
Ketika
Imam Ahmad bin Hanbal ditanya tentang riba, ia menjawab “Sesungguhnya riba itu
adalah seseorang memiliki utang maka dikatakan kepadanya apakan akan melunasi
atau membayar lebih. Jikalau tidak mampu melunasi ia harus menambah dana (dalam
bentuk bunga pinjam) atas penambahan waktu yang diberikan.”
Kesimpulannya, riba berarti melebihkan jumlah
pinjaman saat pengembalian berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman
pokok yang dibebankan kepada peminjam. Secara umum, dapat ditarik benang merah
yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan baik dalam transaksi
jual beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip
muamalah dalam Islam, bisa melalui “bunga” dalam utang piutang, tukar menukar
barang sejenis dengan kuantitas yan tidak sama dan sebagainya. Dan tiba dapat
terjadi dalam semua jenis transaksi maliyah.
Antonio, Muhammad S. 2001. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik. Jakarta: Penerbit Gema Insani.
No comments:
Post a Comment