Saturday, 9 May 2015

Latar Belakang Krisis Yunani

Ketika pada tahun 2008, Amerika Serikat mengalami krisis keuangan, sedikit dari masyarakat awam (terutama di Indonesia) yang benar-benar menyadari dampak di negara adidaya tersebut. Hal ini karena krisis yang dialami Amerika Serikat imbasnya tidaklah sejelas krisis moneter yang pernah terjadi di Asia pada tahun 1997-1998, di mana pada saat itu krisis yang pada awalnya berasal dari dunia keuangan turut mempengaruhi gejolak sosial dan politik terutama di Indonesia.

Padahal, krisis yang dialami Amerika juga memiliki imbas besar bagi penduduknya, walaupun tidak berujung pada penjarahan dan pembakaran atau bahkan pemberontakan.

Kini Yunani juga dilanda krisis ekonomi yang tak kalah seriusnya. Prahara utang dan bobolnya ketahanan fiskal pemerintah, menerpa kehidupan rakyat Yunani.

Yunani, negeri indah yang melahirkan budaya hellenisme dan ajaran stoic itu, kini dilanda kemiskinan dan kerentanan sosial. Ribuan kasus PHK mengakibatkan melonjaknya pengangguran. Demonstrasi dan berbagai aksi unjuk rasa menjadi pemadangan sehari-hari di Kota Athena. Kehidupan semakin sulit, dan kemiskinan meningkat. 

Sejak kasus Yunani meledak, Uni Eropa memang ikut kalang kabut. Kekhawatiran mereka terutama muncul dari resiko penularan krisis ke wilayah regional. Dampaknya mulai dirasakan negara-negara yang disebut dengan PIGS (portugal, Ireland, Greece dan Spanyol). Nama PIGS memang punya konotasi negatif. tak heran nasib negara anggota PIGS juga setali uang. Keempatnya langsung terhempas oleh krisis utang dan fiskal. Selanjutnya, krisis Yunani mulai meluas ke Italia, Belgia dan Austria, Prancis dan Jerman. Kepercayaan investor terhadap perekonomian Eropa turun drastis, nilai tukar euro ikut melemah.

Mengapa Yunani bisa terseret pada krisis utang yang sedemikian parah? Kehidupan politik dan pemerintahan Yunani memang diwarnai oleh perilaku tidak berhati-hati pengelola negara. Pesta Olimpiade 2004 di Yunani, dianggap sebagai awal malapetaka. Saat itu biaya tinggi dikeluarkan untuk investasi yang dananya berasal dari utang. Penggelembungan proyekpun terjadi untuk penyelenggaraan Olimpiade tersebut oleh beberapa pengusaha dan politisi.

Selain itu, bergabungnya Yunani dengan kawasan Euro di sisi lain menjadi semacam kutuk. Penyesuaian ekonomi dengan Eropa menjadikan barang dan jasa Yunani mahal. Inflasi meningkat, dan banyak perusahaan asing yang hengkang karena biaya yang mahal. Di sisi lain, privatisasi BUMN dan asset pemerintah lainnya dilakukan tidak memenuhi kaidah persaingan sehat dan transparan. Dana yang diperoleh bukan untuk membayar utang, namun untuk kepentingan para politisi. Sekarang, saat utang melilit, dan pemerintah membutuhkan asset untuk dijual, tak ada lagi yang tersisa.

Sektor perbankan Yunani pun menyimpan banyak masalah. Suatu saat mereka berlomba-lomba memberikan kredit, dan tiba-tiba secara serempak menghentikannya. Perkembangan krisis utang telah menimbulkan ketakutan perbankan akan masa depan ekonomi Yunani. Kontraksi kredit ini tentu memukul dunia usaha.

Selain itu, subsidi yang diberikan oleh Uni Eropa pada perusahaan Yunani, kerap dimanipulasi. Banyak perusahaan fiktif yang dibentuk sekedar mendapatkan dana dari Uni Eropa. Dana itu disalahgunakan untuk membeli real estate dan mobil mewah.

Berbagai hal tersebut terakumulasi dan menyebabkan defisit anggaran Yunani melejit mencapai 12,7% dari PDB, atau empat kali melampaui batas aman Uni Eropa. Selain itu utang pemerintah telah meroket melebihi 113% dari PDB. Yunani yang indah dan simbol peradaban itu, telah berubah menjadi sebuah negeri yang sarat dengan utang.

Apa yang dapat dipelajari dari kasus Yunani? Bahwa pada akhirnya, conventional wisdom masih berlaku. Ajaran di buku-buku teks makroekonomi tentang pengelolaan fiskal yang sehat dan berhati-hati, masih berlaku di dunia nyata. Hanya negara yang disiplin dan memiliki pengelolaan fiskal yang baik, dapat bertahan dari krisis. Indonesia telah membuktikan saat krisis global lalu saat pemerintah disiplin menjaga ketahanan fiskalnya.

Dalam hal ini, Indonesia telah banyak belajar dan mampu mengendalikan pengeluaran pemerintah secara bijak. Saat krisis lalu, ketahanan fiskal Indonesia terbukti tangguh. Kita tidak terjebak menjadi terlalu gemuk dan tidak efisien seperti Yunani.

No comments:

Post a Comment