Oleh : Sang Pengamat APBN
APBN negara kita sebagian besar dibiayai oleh penerimaan perpajakan. Target untuk tahun 2015 ini total hampir Rp 1.500 trilyun. Sangat besar. Naiknya tunjangan pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang sangat fantastis baru-baru ini secara logika menjadi wajar karena bertanggung jawab mencari duit Rp 1.500 triliun tersebut. Logika manajemen membenarkan, siapa yang mendatangkan uang paling banyak dia berhak mendapatkan bayaran paling tinggi. Cristiano Ronaldo yang mendatangkan penonton dan penjualan jersey paling banyak, berhak mendapat gaji paling tinggi. Seorang pemangkas rumput di Real Madrid jelas berhak mendapatkan gaji, tetapi tentu tidak setinggi Ronaldo. Semua ada proporsinya.
Dengan tercapainya penerimaan negara Rp 1.500 trilyun tersebut diharapkan gaji aparatur negara lainnya termasuk guru-guru, PNS Pemda, anggota KPK, TNI, serta Polri akan ikut terdongkrak. Pengangguran dapat dientaskan dan gaji buruh dengan perbaikan ekonomi juga dapat dinaikkan. Mutu pendidikan, layanan kesehatan, keamanan hingga pemberantasan korupsi bisa dinaikkan. Negara kita memang membutuhkan penerimaan negara yang besar agar bisa maju layaknya Singapura.
Hanya saja, benarkah duit Rp 1.500 trilyun tersebut benar-benar dikumpulkan oleh DJP ?? Sehingga mereka menjadi satu-satunya instansi yang berhak mendapatkan tunjangan paling tinggi ??
Di sini saya ingin membuka mata yang selama ini tertutup, dan membangunkan orang yang selama ini tidur panjang. Banyak informasi yang berlebihan dan juga informasi yang sepotong. Al hasil banyak pengguna informasi yang salah mengambil keputusan dan sudah barang tentu keadilan yang dikorbankan.
Selama ini pihak DJP berkoar-koar meminta kenaikan tunjangan dan mengancam akan memisahkan diri dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) apabila tunjangan itu tidak dinaikkan. Padahal selama ini mereka sudah menikmati tunjangan rahasia yang besarnya sudah signifikan dari pegawai Kemenkeu yang lain. Lebih tinggi dari Bea Cukai, Perbendaharaan, Anggaran, Badan Kebijakan Fiskal, dan lainnya. Sekarang, dengan tunjangan terbaru, mereka melesat lebih tinggi lagi dari pada “teman-temannya” satu kementerian tadi. Pembentukan opini di media massa, pendekatan intensif ke parlemen, serta gerakan lainnya, ditambah momen terpilihnya Presiden baru yang kalem ini, membuahkan hasil. Publik digiring persepsinya seakan-akan merekalah pahlawan APBN negara ini. Bahkan pegawai Kemenkeu yang lain, termasuk Menterinya, seakan tidak punya andil dalam penerimaan APBN.
Tunjangan Kinerja (Tukin) pegawai DJP akhirnya meroket habis. Naik hingga 250%. Tukin pegawai eselon IV DJP (semacam kepala seksi) kini setara dengan tukin pejabat eselon II temannya satu kementerian. Ini ibarat tunjangan Kapten di TNI AU naik setara dengan tunjangan Brigadir Jenderal di TNI AD. Tentu menimbulkan rasa ketidakadilan. Jika tukin dianggap merupakan wujud representasi dari tingkat resiko dan tanggung jawab kerja, maka dapat dikatakan bahwa pejabat eselon II Bea Cukai resiko dan tanggungjawabnya tidak lebih tinggi dari pejabat eselon IV DJP. Ibarat tanggung jawab seorang Kapolda tidak lebih tinggi dari seorang Kasatlantas di Polres. Kenaikan sepihak ini akan menimbulkan disharmoni di internal Kemenkeu. Tinggal tunggu waktu saja. Andaipun tahun depan DJP memisahkan diri dari Kemenkeu dan membentuk Badan Penerimaan Perpajakan langsung di bawah Presiden, kepergiannya dari Kemenkeu tetap tidak indah. Sejarah sudah terlanjur kelam dan pemisahan itu hanya memperburuk situasi. Presiden akan dianggap lemah dan dengan seenaknya disetir oleh DJP. Disharmoni di internal Kemenkeu harus diredam segera.
Anehnya masih ada pegawai kroco di DJP yang tidak bersyukur atas kenaikan ini. Gila nggak , man?? Kerjanya cuma nungguin SPT di Mall-mall saja mengatakan tunjangan belasan juta masih tidak layak?? Mengatakan kenaikan itu hanya menguntungkan pejabat lah dan seterusnya. Padahal pegawai berpangkat paling rendah di DJP sekarang ini tunjangannya masih lebih tinggi dari pejabat eselon V di Bea Cukai. Sungguh sikap “pahlawan APBN” yang “ksatria”.
Tentu menjadi suatu pertanyaan tersendiri bagi kita alasan apa yang begitu hebat sehingga DJP bak makhluk super istimewa sehingga oleh presiden layak mendapatkan tukin yang fantastis. Apakah benar secara AKTUAL/FAKTUAL dilapangan?? Berikut akan saya analisa kebenarannya. Semoga anda semua dapat menerima informasi yang benar sehingga negara ini tidak mengalami kemalangan.
SESAT PIKIR BERMULA DARI KATEGORI DI APBN
Penerimaan perpajakan dalam APBN terdiri dari 2 kategori yaitu Penerimaan Pajak Dalam Negeri dan Penerimaan Pajak Perdagangan Internasional. Pajak Dalam Negeri terdiri dari Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Cukai, PBB, BPHTB, bea meterai, serta lainnya. Sementara Pajak Perdagangan Internasional berupa Bea Masuk atas barang impor dan Bea Keluar atas barang ekspor.
Orang awam mengira Pajak Dalam Negeri dipungut oleh DJP sementara Pajak Perdagangan Internasional oleh Bea Cukai. Tentu saja ini salah. Llau, di APBN dikatakan Bea Cukai memungut Pajak Perdagangan Internasional serta sebagian Pajak Dalam Negeri berupa Cukai. Ternyata ini juga salah. Orang awam dan penyusun kata-kata di APBN ternyata masih terjebak dalam kesesatan berpikir. Yang tidak banyak diketahui publik adalah fakta bahwa ada bagian lain dalam kategori Pajak Dalam Negeri yang juga dipungut oleh Bea Cukai, selain Cukai. Resiko salah pemungutan bagian lain tersebut ada di Bea Cukai, jumlah bagian lain tersebut signifikan, tetapi bagian lain itu diklaim dan diakui oleh negara sebagai hasil kerja DJP. Bagian lain itu adalah pajak-pajak impor.
Pajak-pajak impor adalah pajak yang dikenakan kepada importir atas importasi barang yang masuk ke Indonesia DI SAMPING pungutan bea masuk. Pajak-pajak impor dapat meliputi PPh Impor, PPN Impor, dan PPnBM Impor. Sehingga atas satu barang impor dapat dikenakan pungutan yang meliputi bea masuk, DITAMBAH pajak impor berupa PPN Impor, PPh Impor, dan PPnBM Impor. Semua pungutan tersebut dikenakan dalam satu proses sekaligus dan dalam satu dokumen tagihan. Sayangnya dalam APBN, ketiganya dilebur dalam kategori PPN, PPh, dan PPnBM dalam negeri.
Prosesnya importir menghitung sendiri bea masuk dan pajak impornya, lalu dokumen didaftarkan ke kantor Bea Cukai. Jika importir memberitahukan nilai impor lebih rendah dari seharusnya, maka besaran bea masuk dan pajak impor yang masuk kas negara juga akan kecil. Di sini dokumen akan diverifikasi oleh petugas Bea Cukai. Jika kedapatan kurang bayar, maka kekurangannya akan ditagih oleh Bea Cukai ke importir. Misalnya importir memberitahukan nilai impor Rp 100 juta, maka PPN Impor yang dia bayar Rp 10 juta (10%). Lalu setelah diverifikasi oleh petugas Bea Cukai ternyata nilai impor yang seharusnya adalah Rp 750 juta, maka PPN Impor yang seharusnya juga Rp 75 juta akan ditagih kekurangannya oleh Bea Cukai. Di sini keahlian dan ketelitian petugas Bea Cukai diperlukan. Bagaimana menyelamatkan penerimaan negara yang tadinya cuma mau dibayarkan Rp 10 juta menjadi yang sebenarnya yaitu Rp 75 juta. Itu hanya satu contoh dengan angka yang sangat dikecilkan dari ribuan kejadian sebenarnya. Ketika audit Bea Cukai yang pastinya dilakukan oleh Bea Cukai kedapatan kurang bayar pajak impornya, juga akan ditagih oleh Bea Cukai. Kalau tidak dibayar sampai jatuh tempo juga akan ditegur oleh Bea Cukai, surat paksa oleh Bea Cukai, hingga disita oleh juru sita Bea Cukai. Ketika importir keberatan, maka keberatan juga diproses di Bea Cukai. Jika importir mengajukan tuntutan ke Pengadilan Pajak yang akan menghadapi juga Bea Cukai. Jika importir merasa disewenang-wenangi, yang akan dia laporkan ke polisi juga pejabat Bea Cukai. Semua tanggung jawab dan risiko ada di Bea Cukai. Tapi setelah duit pajak impor tersebut masuk ke kas negara, kenapa tidak dianggap sebagai hasil kerja Bea Cukai? Kenapa justru dianggap sebagai hasil kerja DJP yang dalam proses di atas, sama sekali tidak berperan ?? Apa hanya karena pajak impor itu bernama “pajak” maka harus menjadi hasil kerja Direktorat Jenderal Pajak??
Mari kita semua berpikir.
Jumlah pajak impor sendiri signifikan. Tahun 2014 yang lalu, PPN Impor sekitar Rp 152 trilyun, PPh Impor Rp 39 triliun, dan PPnBM Impor Rp 5 trilyun, atau total ketiganya Rp 197 trilyun. Maka bagian kerja Bea Cukai di kategori Pajak Dalam Negeri adalah Rp 197 trilyun ditambah Cukai Rp 118 trilyun SEHARUSNYA sebesar Rp 315 trilyun. Ditambah bea masuk dan bea keluar sebesar Rp 43 trilyun maka uang negara yang dihasilkan oleh Bea Cukai tahun 2014 kemarin sebenarnya adalah Rp 358 trilyun, atau sekitar 30% dari total penerimaan perpajakan tahun 2014 yang sebesar Rp 1.146 trilyun.
Seharusnya DJP hanya berhak mengklaim hasil kerjanya sebesar sisanya yaitu Rp 1.146 – Rp 358 = Rp 788 trilyun. Itupun di dalam Rp 788 trilyun tersebut masih termasuk Pajak Bumi dan Bangunan dan BPHTB yang sudah dipungut oleh Pemerintah Daerah. Dan juga masih termasuk PPN Hasil Tembakau yang lagi-lagi juga dipungut oleh Bea Cukai.
KONDISI SEKARANG (PAJAK-PAJAK IMPOR DI KLAIM SEPIHAK OLEH DJP)
(dalam rupiah)
Item
|
2012
|
2013
|
2014
|
Penerimaan pajak dalam negeri (di klaim penerimaan DJP atau seolah-olah penerimaan DJP)
|
980.518.133.319.319
|
1.077.306.679.558.270
|
1.102.781.328.242.120
|
Penerimaan pajak internasional (penerimaan bea cukai)
|
49.656.293.809.881
|
47.456.616.255.001
|
43.455.518.135.314
|
KONDISI SEHARUSNYA (PAJAK-PAJAK IMPOR MENJADI BAGIAN DARI KINERJA BEA CUKAI)
(dalam rupiah) – sumber laporan keuangan pemerintah pusat 2012-2013 dan laporan realisasi anggaran kementerian keuangan tahun 2014
No
|
Item Penerimaan Negara
|
2012
|
2013
|
2014
|
1
|
Penerimaan pajak dalam negeri
|
980.518.133.319.319
|
1.077.306.679.558.270
|
1.102.781.328.242.120
|
dikurangi :
| ||||
a
|
- PPN impor
|
126.610.119.566.338
|
138.989.159.819.891
|
152.303.848.228.952
|
b
|
- PPnBM impor
|
8.422.773.568.033
|
7.281.335.893.452
|
5.336.418.791.394
|
c
|
- PPh impor
|
31.610.164.408.871
|
36.332.464.974.534
|
39.448.793.609.071
|
d
|
- Cukai
|
95.027.881.221.457
|
108.452.081.324.579
|
118.079.741.002.642
|
e
|
(kinerja bea cukai (huruf a s.d d))
|
291.055.042.012.456
|
261.670.938.764.699
|
315.168.801.632.059
|
f
|
Penerimaan bersih DJP
|
718.847.194.554.620
|
786.251.637.545.814
|
787.612.526.610.061
|
2
|
Penerimaan pajak internasional (kinerja bea cukai)
|
49.656.293.809.881
|
47.456.616.255.001
|
43.455.518.135.314
|
g
|
- Bea Masuk
|
28.418.359.044.419
|
31.621.250.024.724
|
32.149.310.877.782
|
h
|
- Bea Keluar
|
21.237.934.765.462
|
15.835.366.230.277
|
11.306.207.257.532
|
i
|
Penerimaan bersih DJBC
|
311.327.232.574.580
|
338.511.658.267.457
|
358.624.319.767.373
|
Oke, katakanlah hasil kerja DJP sebesar Rp 788 trilyun itu (Maaf, mas Pemda!). Sekarang kita lihat rasio efektivitas per pegawainya. Dengan pegawai sekitar 44.500 orang, rasio kontribusi tiap pegawai DJP ke penerimaan APBN adalah sebesar Rp 788 trilyun dibagi 44.500 = Rp 18 milyar per pegawai. Sementara itu dengan pegawai sekitar 13.500, rasio kontribusi tiap pegawai Bea Cukai ke penerimaan APBN adalah sebesar Rp 358 dibagi 13.500 = Rp 27 milyar per pegawai !! Sekarang logika manajemen mana yang mengatakan kalau pegawai yang menghasilkan Rp 27 milyar harus dibayar lebih rendah dari pegawai yang hanya menghasilkan Rp 18 milyar ??
No
|
Instansi
|
2012
|
2013
|
2014
| ||||||
Penerimaan Bersih (milyar)
|
åPegawai
|
Rasio (Milyar/Pgw)
|
Penerimaan Bersih (milyar)
|
åPegawai
|
Rasio (Milyar/Pgw)
|
Penerimaan Bersih (milyar)
|
åPegawai
|
Rasio (Milyar/Pgw)
| ||
1
|
Pajak (DJP)
|
718.847,20
|
31.500
|
22,82
|
786.251,64
|
32.000
|
24,57
|
787.612,53
|
44.500
|
17,70
|
2
|
Bea cukai (DJBC)
|
311.327,23
|
10.000
|
31,13
|
338.511,66
|
11.000
|
33,85
|
358.624,32
|
13.500
|
26,56
|
Padahal, sekali lagi padahal, tugas Bea Cukai tidak hanya melakukan pungutan untuk mengisi APBN saja. Setiap hari dengan hanya sejumlah 13.500 pegawai tersebut harus memfasilitasi impor ekspor di lebih dari seratus pelabuhan, sembari mengawasi apabila dalam kontainer-kontainer itu terdapat barang yang terlarang, narkoba, amunisi, bom, pakaian bekas, dan seterusnya. Prosesnya harus cepat atau dianggap menghambat ekonomi. Belum lagi harus mengawasi ribuan penumpang yang datang berkunjung ke Indonesia di puluhan bandara internasional. Memastikan mereka tidak membawa narkoba, uang tunai berlebihan, dan sebagainya. Belum lagi tugas mengawasi pos perbatasan kita yang sarat masalah sosial kesenjangan antar negara. Kita mendengar di Entikong petugas Bea Cukai bentrok dengan preman karena miras mereka dari Malaysia disita. Di Teluk Nibung bersama TNI, Bea Cukai diserang komplotan penyelundup bawang. Ini belum tugas cukai. Selain memungut, cukai harus juga diawasi. Berapa banyak rokok ilegal yang harus diawasi oleh Bea Cukai, pita cukai palsu, tempat-tempat penjualan minuman keras seperti hotel dan diskotik?
LALU MENGAPA REWARD ITU HANYA UNTUK DJP SAJA ???
Selain rasio per pegawai yang menghasilkan penerimaan negara lebih tinggi, tugas Bea Cukai juga lebih kompleks dari DJP, tapi kenyataan tunjangan mereka jauh lebih rendah menjadikan organisasi Kemenkeu tidak sehat. Kesenjangannya TERLALU LEBAR. Sudah saya sebutkan di atas, pegawai paling rendah pangkatnya di DJP itu saja tukinnya masih lebih tinggi dari pejabat eselon V di Bea Cukai. Belum lagi nanti anggapan tidak bergunanya aparatur Perbendaharaan yang mengelola pencairan APBN, aparatur Anggaran yang merumuskan APBN, aparatur DJKN yang mengamankan aset negara, serta aparatur Badan Kebijakan Fiskal yang menggodok kebijakan perpajakan sehingga berbuah seribuan trilyun tadi. Mereka semua berpikir, “Kita bekerja tapi yang enak orang pajak saja”. Sekarang ada stigma Kemenkeu itu terdiri dari dua saja yaitu pajak dan non pajak. Bawang merah dan bawang putih. Upaya tutup mulut melalui biaya mobilitas yang tidak seberapa besarnya tidak akan meredam gejolak dari eselon I non pajak di Kemenkeu.
Penghasilan merupakan hak dasar pegawai. Ketimpangan penghasilan yang begitu tajam di satu baju kementerian jelas berarti merusak hak-hak dasar pegawai non pajak. Ini adalah permasalahan organisasi yang sangat serius. Reformasi birokrasi yang sudah dijalankan dengan baik sejak jaman Sri Mulyani bisa porak poranda dalam sekejap hanya karena permasalahan yang tampak sepele ini.
Tapi kan orang DJP sudah menambah jam kerjanya sampai jam 19.00?? Sebenarnya hal ini tidak jelas perhitungannya. Apalagi jika dihitung beban negara dalam pembiayaan listrik kantor dan langganan internetnya. Malah beban negara semakin besar. Apalagi korelasinya dengan penerimaan pajak-pajak impor, tidak berhubungan sama sekali. Mau orang DJP nongkrong di kantornya 25 jam sehari pun, tidak akan berpengaruh pada pundi-pundi pajak impor ke kas negara.
Padahal, sekali lagi padahal, bekerja 24 jam dalam sehari itu sudah menjadi kebiasaan sejak lama di Bea Cukai. Mereka yang patroli di laut memantau penyelundupan tentu tidak pulang setiap jam 19.00, bukan? Masak dari tengah Laut Arafuru tiap hari balik ke kantor buat ngantri di depan mesin absen terus hang out, update status di facebook “mengabdi pada negeri”, membroadcast meme “sholat dulu semoga penerimaan kita tercapai”, sambil cekikikan di whatsaap ngobrolin mau beli tanah apa bisnis MLM biar tukinnya beranak pinak? Kalau ada kapal berangkat ekspor jam 01.00 dini hari, memangnya tidak ada piket dari Bea Cukai? Kalau ada pesawat dari luar negeri tiba jam 23.00 malam apa tidak dilayani dan diperiksa barang bawaannya karena petugas Bea Cukainya sudah pulang jam 19.00 demi tukin? Padahal tukin mereka hanya sebesar duit receh tukin DJP.
Sudah saatnya Menteri Keuangan berpikir adil dan tegas. Berteriaknya DJP dengan mengancam pemisahan diri yang dipoles dengan kajian bualan dari OECD dan semacamnya itu tak ubahnya Robin van Persie yang mengancam hengkang dengan alasan tidak kunjung juara padahal hanya karena gajinya tidak dinaikkan oleh Arsenal. Penggemar Arsenal jelas sudah muak dan antipati terhadap pemain mata duitan seperti itu.
Menteri Keuangan sebaiknya juga segera mengganti Dirjen Bea Cukai dengan orang yang lebih cakap dan mengerti anggotanya.
Kepada pimpinan Bea Cukai, sebaiknya jangan bersikap seperti seorang putri malu. Organisasi Anda sudah menjadi korban sejarah berkali-kali. Anda tentu masih ingat saat kewenangan Anda disunat oleh Orde Baru di tahun 1985, bukan? Kenapa hasil kerja anggota Anda diklaim sepihak oleh pihak lain, Anda diam saja? Bukankah Anda sering mencitrakan diri di media sebagai sosok yang gagah dan berani? Dididik oleh Kopassus, berbaret seperti pramuka dan perempuannya suka makan ular? Apa warna seragam Anda yang seperti satuan pengamanan mengharuskan Anda bersikap penurut seperti mereka?
No comments:
Post a Comment