Tuesday 3 October 2017

Definisi Riba


Riba secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik, riba juga berarti tumbuh dan membesar. Adapun menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Ada beberapa pendapat  dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam.

Mengenai hal ini, Allah SWT mengingatkan dalam firman-Nya

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil....” (an-Nisaa’: 29)

Dalam kaitannya dengan pengertian al-bathil dalam ayat tersebut, Ibnu al-Arabi al-Maliki dalam kitabnya, Ahkam Al-Quran, menjelaskan

“Pengertian riba secara bahasa adalah tambahan, namu yang dimaksud riba dalam ayat Qur’ani yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syariah.”

Yang dimaksud dengan transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu transaksi bisnis atau komersial yang melegitimasi adanya penambahan tersebut secara adil, seperti transaksi jual beli, gadai sewa, atau bagi hasil proyek. Dalam transaksi sewa, si penyewa membayar upah sewa karena adanya manfaat sewa yang dinikmati, termasuk menurunnya nilai ekonomis suatu barang karena penggunaan si penyewa. Mobil misalnya. Sesudah dipakai maka nilai ekonomisnya pasti menurun jika dibandingkan sebelumnya. Dalam hal jual beli, si pembeli membayar harga atas imbalan barang yang diterimanya. Demikian juga dalam proyek bagi hasil, para peserta perkongsian berhak mendapat keuntungan karena di samping menyertakan modal juga turut serta menanggung risiko kerugian yang bisa saja muncul setiap saat.

Dalam transaksi simpan-pinjam dana, secara konvensional, si pemberi pinjaman mengambil tambahan dalam bentuk bunga tanpa adanya suatu penyeimbang yang diterima si peminjam kecuali kesempatan dan faktor waktu yang berjalan selama proses peminjaman tersebut. Yang tidak adil di sini adalah si peminjam diwajibkan untuk selalu, tidak boleh tidak, harus, mutlak dan pasti untung dalam setiap penggunaan kesempatan tersebut.
Demikian juga dana itu tidak akan berkembang dengan sendirinya hanya dengan faktor waktu semata tanpa ada faktor orang yang menjalankan dan mengusahakannya. Bahkan ketika orang tersebut mengusahakannya bisa saja untung bisa juga rugi.
Pengertian senada disampaikan oleh jumhur ulama sepanjang sejarah Islam dari berbagai mazhahib fiqhiyyah. Di antaranya sebagai berikut.

1.    Badr ad-Din al-Ayni. Pengarang Umdatl Qari Syariah Shahih al-Bukhari
“Prinsip utama dalam riba adalah penambahan. Menurut syariah, riba berarti penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil.
2.    Imam Sarakhsi dari Mazhab Hanafi
Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya iwadh (atau padanan) yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut.
3.    Raghib al Asfahani
Riba adalah penambahan atas harga pokok
4.    Qatadah
Riba jahiliyah adalah seseorang yang menjual barangnya secara tempo hingga waktu tertentu. Apabila telah datang saat pemb ayaran dan si pembeli tidak mampu membayar, ia memberikan bayaran tambahan atas penangguhan.”
5.    Zaid bin Aslam
“Yang dimaksud dengan riba jahiliyah yang berimplikasi pelipatgandaan sejalan dengan waktu adalah seseorang yang memiliki piutang atas mitranya. Pada saat jatuh tempo, ia berkata, “Bayar sekarang atau tambah””
6.    Mujahid
Mereka menjual dagangannya dengan tempo. Apabila telah jatuh tempo dan (tidak mampu  bayar) si pembeli memberikan ‘tambahan’ atas tambahan waktu.”
7.    Ja’far ash-Shadiq dari Kalangan Syi’ah
Ja’far ash-Shadiq berkata ketika ditanya mengapa Allah SWT mengharamkan riba, “Supaya orang tidak berhenti berbuat kebajikan. Hal ini karena ketika diperkenankan untuk mengambil bunga atas pinjaman, seseorang tidak berbuat makruf lagi atas transaksi pinjam-meminjam dan sejenisnya, padahal qard bertujuan untuk menjalin hubungan yang erat dan kebajikan antarmanusia.”
    Imam Ahmad bin Hanbal. Pendiri mazhab Hanbali
Ketika Imam Ahmad bin Hanbal ditanya tentang riba, ia menjawab “Sesungguhnya riba itu adalah seseorang memiliki utang maka dikatakan kepadanya apakan akan melunasi atau membayar lebih. Jikalau tidak mampu melunasi ia harus menambah dana (dalam bentuk bunga pinjam) atas penambahan waktu yang diberikan.”

Kesimpulannya, riba berarti melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok yang dibebankan kepada peminjam. Secara umum, dapat ditarik benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam, bisa melalui “bunga” dalam utang piutang, tukar menukar barang sejenis dengan kuantitas yan tidak sama dan sebagainya. Dan tiba dapat terjadi dalam semua jenis transaksi maliyah.

 Antonio, Muhammad S. 2001. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik. Jakarta: Penerbit Gema Insani.

No comments:

Post a Comment