Thursday 29 October 2015

 Omong2 tentang Gojek, setau saya tarif flat 10 rb itu hanya promo di awal, yg sampe sekarang masih berlaku. Dan nantinya bakal di ganti dengan distance-based price. Dari situ, seharus nya sudah ga ada masalah di segi cost. Yg jadi masalah nanti nya adalah, apa demand akan tetap saat flatcost tdk ada
Nah ini menarik!
Saat ini di Jakarta, tarif Gojek dihitung Rp2500/km, minimal 6 km = min 15 ribu. Atau flat 15rb diluar rush hours. Di kota-kota lain seperti Bandung alhamdullilah masih 10ribu (kurang tau ini promo sampai kapan sih). Karena saya based di Bandung sementara ambil contoh di Bandung dulu ya.
Ngomongin dari sisi pengguna mahasiswa, budget saya terbatas. Saingan Gojek dari segi transportasi secara general di Bandung itu angkot, which is tarifnya paling 2-3 ribu rata-rata. Saya paling sering pake Gojek ke Freenov yang jaraknya cuman 2km an dari kosan. Kalo ditanya personal, seandainya Gojek di Bandung pake tarif yang sama Rp2500/km dan min 6 km, saya pasti ga akan pake Gojek.
Kita andaikan semua mahasiswa berpikiran seperti saya, jumlah order Gojek pasti turun lumayan signifikan. Itu baru satu segmen pengguna. Diluar pengguna-pengguna oportunis. Saya sendiri expect kalo tarif Gojek udah ga flat, mungkin penurunan ordernya bisa sampai 30-40%.
Nah kalo dibalikin lagi, muncul masalah apakah dengan rate segitu Gojek bisa balikin dana investornya? Kalo iya, berapa lama BEPnya?
Let me hear your though :)
(( Actually ini menarik juga jadi topik TA, bisa dibahas dari segi finance, marketing, maupun decision making.))
Kamu dan 13 orang lainnya menyukai ini
Seorang gadis kecil, melalui jendela rumahnya memandang ke luar ke hamparan panorama alam pedesaan yang menakjubkannya. Ia mencoba memikirkannya tetapi tak kunjung mendapatkan jawaban. Dia bertanya kepada ibunya "Bu, apa yang tak dapat saya mengerti adalah bagaimana dunia ini menjadi ada seperti apa yang saya lihat." Pertanyaag gadis kecil itu bukan pertanyaan biasa, melainkan pertanyaan yang mendasar. Bila pertanyaan itu dirumuskan secara terpelajar, ia akan terungkap seperti berikut: "Bu, alam semesta iti apa? "Apakah alam semesta itu menjadi ada melalui inside, atau evolusi atau ada yang membuatnya?" Pertanyaan itu menginginkan jawaban yang berkualifikasi klausa pertama. Bahwa gadis kecil itu mengajukan pertanyaan termaksud menunjukkan bahwa ia berpikir reflektif. Dengan kata lain, pertanyaan gadis kecil ini menunjukkan bahwa ia berfilsafat.

Kebanyakan anak menerima begitu saja dunia seperti apa adanya tanpa mempersoalkannya; kebanyakan orang dewasa pun juga demikian. tetapi ada sejumlah anak dan sejumlah orang dewasa yang terus menerus berpikir mendalam dan reflektif; mereka heran sekaligus ingin tahu mengenai: dunia ini apa, bagaimana terjadinya, terbuat dari apa, untuk apa dunia ini ada. Bila heranannya mulai menjadi serius dan menggerakkan dirinya untuk menemukan informasi yang sistematis, mereka adalah filsuf.

Thursday 10 September 2015

Lima Prinsip Dasar Akuntansi

1. Prinsip Biaya Historis (Historical Cost Principle) 
2. Prinsip Pengakuan Pendapatan (Revenue Recognition Principle) 
3. Prinsip Mempertemukan (Matching Principle) 
4. Prinsip Konsistensi (Consistency Principle)
5. Prisip Pengungkapan Penuh (Full Disclosure Principle) 

BADAN-BADAN PEMBUAT STANDAR AKUNTANSI KEUANGAN BESERTA PRODUKNYA DI SETIAP NEGARA

Nama : Devinta Galuh Wardhani
NPM : 20208346
Kelas : 4EB05
Yang saya ketahui di tiap negara pasti memiliki perbedaan, dalam hal ini badan-badan yang bertugas untuk membuat standar akuntansi keuangan beserta produknya pun juga berbeda di mana sangat berperan dalam hal mrnyajikan informasi keuangan pada negaranya masing-masing.
  • Di Negara Indonesia memiliki Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) produknya berupa SAK (Standar Akuntansi Keuangan).
  • Di Negara Amerika memiliki FASB (Financial Accounting Standard Board) produknya adalah US GAAP (United State Generally Accepted Accounting Principles).
  • Pada Negara Meksiko mempunyai IMCP sebagai Institut Akuntan Publik Meksiko (Instituto Mexicano de Contadores Publicos).
  • Di Negara Australia mempunyai AASB (Australian Accounting Standards Board).
  • Di Negara Cina memiliki CASC (China Accounting Standards Committee).
  • Di Negara Taiwan mempunyai FASC (Financial Accounting Standards Committee).
  • Sedangkan badan pembuat standar akuntansi untuk negara-negara di kawasan Eropa adalah IASB (International Accounting Standard Board) dan produknya adalah IAS (International Accounting Standard) yang kemudian bermetamorfosis menjadi IFRS (International Financial Reporting Standard). Di ketahui bahwa ternyata sebelum tahun 1990 belum diminati oleh dunia. Disebabkan karena perkembangan ekonomi Amerika masih dijadikan sebagai patokan perkembangan bisnis dunia. Tetapi sekarang IFRS lebih unggul dari US GAAP.
  • Negara Prancis merupakan pendukung utama akuntansi nasional di dunia. Di mana Kementrian Ekonomi Nasional menyetujui kode akuntansi nasional (Plan Comptable General) secara resmi yang pertama pada bulan September 1947 dan di revisi pada tahun 1957dan tahun 1982 berdasarkan Direktif Ke-4 Uni Eropa (UE) kemudian pada tahun 1986, rencana tersebut diperluas untuk melaksanakan ketentuan dalam Direktif Ke-7 UE terhadap laporan keuangan konsolidasi dan revisi untuk lebih lanjut pada tahun 1999.
  • Negara Jerman memiliki GASB (GermanAccounting Standards Board) produknya adalah GAS (German Accounting Standards). Di mana pada tahun 2003, GASB menerapkan strategi baru dan menyelaraskan program kerjanya dengan usaha IASB untuk mencapai konvergensi standar akuntansi secara global. Perubahan ini mengakui ketentuan Unit Eropa atas IFRS bagi perusahaan emiten pada tahun 2005.
Standar akuntansi yang telah ada memiliki tujuan secara umum atau tidak bersifat spesifik. Di mana dengan penerimaan secara luas dan diakui serta di mengerti secara umum meskipun berbeda pada masing-masing negara, tetap menyajikan informasi keuangan.

https://galuhwardhani.wordpress.com/2012/04/15/badan-badan-pembuat-standar-akuntansi-keuangan-beserta-produknya-di-setiap-negara/

Tuesday 4 August 2015

BPJS BUKAN SAJA TIDAK SESUAI SYARIAH,
TAPI JUGA HARAM
Oleh: KH Hafidz Abdurrahman
Pro-Kontra tentang BPJS kembali mencuat minggu lalu, setelah MUI menyatakan haram, melalui fatwa yang dikeluarkan dalam Ijtima’ MUI di Tegal beberapa waktu lalu. Meski kemudian melunak, setelah ada beberapa pihak yang menolak mengharamkannya, sebagaimana yang dinyatakan oleh Ketua PBNU, Said Aqil Siradj. MUI pun kemudian menyatakan, bahwa BPJS belum sesuai dengan prinsip syariah.
Dalam Talkshow dengan TVOne, Dr. Syafii Antonio, menyatakan, bahwa masalah BPJS ini ada tiga. Pertama, terkait dengan ta’awun. Kedua, investasi. Ketiga, denda. Jadi, kalau ada yang belum sesuai dengan syariah, bisa diselesaikan dengan tiga skema tersebut. Tapi, benarkah, BPJS dengan produknya SJSN [Sistem Jaminan Sosial Nasional] itu hanya tidak sesuai dengan syariah, sehingga bisa disyariahkan? Ataukah, memang BPJS dan SJSN-nya memang haram dari asasnya, sehingga tidak mungkin disyariahkan?
Inilah yang hendak dibahas dalam tulisan ini.
BPJS Produk Hadharah Non-Islam
Penting didudukkan, bahwa BPJS-SJSN adalah produk pemikiran yang juga berbentuk pemikiran, sehingga bisa dikategorikan hadharah [peradaban]. BPJS-SJSN bukan produk pemikiran yang berbentuk fisik atau materi [asykal madiyyah], sehingga bisa disebut madaniyyah. Mengapa kategori ini penting?
Karena, alat ukur untuk menentukan status masing-masing berbeda. Begitu juga implementasinya secara praktis. Dalam konteks madaniyyah, “sesuai” atau “tidak sesuai dengan syariah” merupakan alat ukur yang bisa digunakan. “Bertentangan” atau “tidak bertentangan dengan Islam” juga bisa menjadi alat ukurnya. Seperti lukisan makhluk hidup, misalnya, jelas menyalahi syariah. Karena itu, lukisan makhluk hidup merupakan madaniyyah, yang diharamkan. Berbeda dengan lukisan alam atau makhluk yang tidak bernyawa, maka tidak haram.
Tetapi, alat ukur tersebut tidak bisa digunakan untuk menilai hadharah, sebagai produk pemikiran. Karena, meski tampak produk pemikiran tersebut “sesuai dengan Islam”, atau “tidak bertentangan dengan Islam”, tetapi jika tidak lahir dan dibangun berdasarkan akidah Islam, maka tetap saja produk pemikiran tersebut tidak boleh diadopsi, dipraktikkan dan disebarluaskan. Sebagai contoh, demokrasi dengan musyawarahnya, adalah produk pemikiran yang tidak lahir dan dibangun berdasarkan akidah Islam. Meski tampak sepintas musyawarah itu tidak bertentangan, atau sesuai dengan Islam, tetapi karena tidak lahir dan dibangun berdasarkan akidah Islam, tetap saja tidak boleh diadopsi, dipraktikkan dan disebarluaskan.
Karena itu, banyak tokoh dan intelektual Muslim yang kecele, karena melihat dan menilai produk pemikiran tersebut dengan pandangan dan alat ukur yang salah. Sebagai contoh kasus permusyawaratan dalam sistem demokrasi, mereka sering mengatakan, “Apa yang salah dengan musyawarah?” Memang tidak ada yang salah dengan musyawarah. Karena Islam mengajarkan musyawarah, tetapi cara dan mekanisme musyawarah yang dibangun dengan akidah Islam berbeda sama sekali dengan cara dan mekanisme musyawarah dalam demokrasi.
Lalu, ada yang mengatakan, “Kalau ada yang salah pada cara dan mekanismenya, mengapa tidak diubah saja, biar sesuai dengan Islam?” Padahal, dengan mengubah cara dan mekanisme musyawarah dalam demokrasi agar sama dengan Islam tidak mungkin, kecuali dengan meruntuhkan demokrasi. Karena selama dasarnya demokrasi, cara dan mekanisme musyawarah dalam Islam tidak bisa diterapkan.
Inilah fakta dan realitas produk pemikiran yang lahir dan dibangun dengan akidah Kufur. Jadi, kesalahannya bukan terletak pada kulitnya, seperti lukisan atau patung makhluk hidup, yang bisa diubah dengan menghilangkan bagian-bagian yang menjadi ciri khas makhluk hidup. Karena BPJS-SJSN dan musyawarah-demokrasi ini merupakan masalah hadharah, bukan madaniyyah, seperti lukisan. Karena itu, BPJS-SJSN bukan saja tidak sesuai dengan syariah, tetapi juga haram secara mutlak, karena merupakan produk hadharah non-Islam.
Keharaman BPJS-SJSN ini bukan karena konsep ta’awun, investasi dan dendanya yang tidak sesuai dengan syariah, tetapi dari akarnya sudah salah. Karena, ia bukan produk pemikiran yang lahir dan berdasarkan akidah Islam.
BPJS-SJSN Batil dari Akar-akarnya
Sistem jaminan sosial ini, baik dalam bentuk ketenagakerjaan, kesehatan maupun yang lain, sebenarnya lahir dari sistem Kapitalisme. Dalam sistem Kapitalisme, negara tidak mempunyai peran dan tanggungjawab untuk mengurus urusan pribadi rakyat, karena urusan pribadi rakyat adalah urusan mereka sendiri, bukan negara. Negara tidak mempunyai kewajiban untuk menjamin kesehatan, pendidikan, keamanan, serta kebutuhan dasar rakyat yang lain.
Karena itu, kewajiban menjamin kesehatan, pendidikan, keamanan, serta kebutuhan dasar rakyat yang lain ini harus ditanggung sendiri oleh rakyat. Bisa ditanggung sendiri oleh rakyat, atau dengan bergotong royong sesama mereka. Nah, di sinilah akar masalahnya. Padahal, dalam Islam, kewajiban menjamin kesehatan, pendidikan, keamanan, serta kebutuhan dasar rakyat yang lain adalah kewajiban negara, bukan rakyat.
Ketika sistem seperti ini dianggap menyengsarakan rakyat, mulailah dicari solusi. Solusinya dengan membuat BPJS-SJSN ini. Di negara-negara Barat, sistem jaminan sosial ini kemudian diikuti dengan cara dan mekanisme yang juga tidak kalah zalimnya. Sudahlah negara tidak bertanggungjawab menjamin kesehatan, pendidikan, keamanan, serta kebutuhan dasar rakyatnya yang lain, negara justru memalak mereka dengan mewajibkan rakyat untuk membayar premi.
Dengan kata lain, negara telah memindahkan tanggungjawab ini ke pundak rakyat. Ketika ini sudah ditetapkan sebagai kewajiban di pundak rakyat, maka ketika rakyat tidak membayar, mereka pun akan dikenai sanksi dan denda. Di sinilah, kezaliman sistem BPJS-SJSN ini. Bukan saja zalim, tetapi juga batil. Mengapa? Karena mu’amalah seperti ini tidak lahir dan berdasarkan akidah Islam, sehingga tidak bisa diperbaiki lagi. Mengapa tidak bisa diperbaiki lagi? Karena, kesalahannya bukan hanya pada daun [buah]-nya, tetapi sejak dari akarnya.
Ta’awun, Sanksi, Denda dan Investasi Bukan Akar Masalah
Menyederhanakan masalah BPJS-SJSN hanya dengan menyesuaikan masalah ta’awun, sanksi, denda dan invetasi agar sesuai dengan syariah jelas keliru. Karena, ini bukan akar masalahnya. Menyesuaikan masalah ta’awun, sanksi, denda dan invetasi dalam BPJS-SJSN agar sesuai dengan syariah, tanpa melihat akar masalahnya jelas salah.
Bahkan, tindakan seperti ini bisa dianggap menipu umat Islam. Karena itu artinya, konsep ta’awun, sanksi, denda dan invetasi yang dibangun berdasarkan sistem Kufur dipoles dengan “syariah”, sementara dasarnya bukan Islam. Padahal, ta’awun, sanksi, denda dan invetasi dalam kedua sistem tersebut jelas berbeda. Ini sama seperti kasus musyawarah dalam sistem demokrasi dengan Islam, jelas berbeda.
Ta’awun, tolong-menolong atau gotong royong sebenarnya bukan akad, meski termasuk dalam kategori tasharruf. Karena, menolong atau membantu adalah kewajiban syara’ bagi yang mampu. Diminta atau tidak, ketika ada orang lain membutuhkan bantuan, maka hukum membantu atau menolongnya adalah wajib. Ini berlaku dalam kasus menolong orang sakit, misalnya. Namun, kewajiban ini tidak bisa dibebankan kepada semua orang. Terlebih, ketika kewajiban ini sebenarnya adalah kewajiban negara, sementara negara sendiri tidak menjalankan kewajibannya. Sudah begitu, kewajiban ini dibebankan kepada rakyat, yang seharusnya menjadi pihak yang mendapatkan hak yang menjadi kewajiban negara.
Nah, di sinilah letak batilnya konsep ta’awun BPJS-SJSN ini. Berbeda dengan Islam. Islam mengajarkan ta’awun, tetapi dalam konteks ini hanya bersifat pelengkap. Ketika, negara yang memang telah memenuhi kewajibannya kepada rakyat, tidak memiliki dana yang cukup untuk menunaikan kewajibannya. Dalam hal ini, negara boleh mengambil dana dari masyarakat dengan skema dharibah [pajak], yang diberlakukan sesuai dengan kebutuhan, bersifat temporal, dan hanya berlaku bagi kaum Muslim, pria dan mampu.
Jika konsep ta’awun dalam BPJS-SJSN ini juga diasumsikan sama dengan skema dhaman dalam Islam juga keliru. Karena dhaman juga bukan akad, tetapi tasharruf yang berbentuk tabarru’ [bantuan suka rela]. Perbedaannya pun tampak jelas. Penanggung [dhamin], orang yang ditanggung [madhmun ‘anhu], pihak yang memperoleh pertanggungan [madhmun lahu] dan pertanggungan [dhaman]-nya sendiri diikat oleh ikatan tolong-menolong dengan suka rela [tabarru’]. Pihak yang menolong, dalam hal ini, penjamin [dhamin] tidak mendapatkan apa-apa dari pihak yang memperoleh jaminan [madhmun lahu], selain pahala dari Allah SWT.
Sementara konsep ta’awun dalam BPJS-SJSN ini dibangun dengan prinsip benefit, sebagaimana dalam praktik asuransi. Peserta BPJS-SJSN sebagai penanggung [mu’ammin], BPJS sebagai pihak yang ditanggung [syarikatu at-ta’min], baik pihak yang memperoleh pertanggungan [mu’amman] adalah dirinya atau orang lain, dan premi yang dibayarkan per bulan [ta’min wa amn] jelas dibangun berdasarkan motif benefit. Bukan prinsip tabarru’. Karena itu, hubungan ta’awun dalam BPJS-SJSN tidak bisa dikategorikan sebagai tasharruf sepihak, atau ta’awun murni, tetapi tasharruf dua pihak, sehingga berstatus akad. Karena sudah melibatkan untung-rugi, dan nilai materi.
Sayangnya, obyek yang diakadkan, yaitu “pertanggungan terhadap resiko”, seperti sakit, kecelakaan dan sebagainya juga bukanlah jasa [manfa’at] atau barang [‘ain]. Karena bukan jasa dan barang, maka terhadapnya juga tidak bisa diberlakukan akad. Dari dua fakta ini saja sudah terbukti, bahwa konsep ta’awun dalam BPJS-SJSN jelas batil, dan haram.
Ta’awun dan Investasi Kog Dikenai Sanksi dan Denda?
Praktik ta’awun dalam Islam itu bersifat suka rela. Konsekuensinya, siapa yang tidak sanggup membantu, karena tidak mampu, tentu tidak akan dikenakan sanksi dan atau denda. Nah, dari sini saja sudah jelas berbeda dengan konsep ta’awun dalam BPJS-SJSN. Karena itu, istilah ta’awun mestinya tidak layak digunakan, karena sifatnya yang memaksa, bukan suka rela. Mengapa, rakyat dipaksa, bahkan ketika tidak bisa membayar premi bulanan dikenai sanksi dan denda?
Adanya denda dan sanksi yang diberlakukan kepada rakyat yang tidak membayar premi bulanan dalam sistem SJSN-BPJS ini membuktikan, bahwa ini bukan ta’awun. Tetapi, kewajiban. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, ini sebenarnya bukan kewajiban rakyat, tetapi kewajiban negara. Ketika rakyat dikenai sanksi dan denda, karena tidak menjalankan apa yang bukan menjadi kewajibannya, jelas ini merupakan kezaliman yang luar biasa.
Begitu juga, kalau ini dianggap sebagai investasi. Bukankah, investasi merupakan akad? Jika investasi merupakan akad, bukankah akad itu bersifat suka rela [ridha wa ikhtiar], tidak boleh dipaksa? Nah, dari kacamata apapun, baik Islam maupun Kapitalisme, orang yang melakukan akad tidak boleh dipaksa. Ketika orang melakukan akad dipaksa, maka akadnya itu sendiri tidak sah.
Karena itu, masalah BPJS-SJSN ini sangat kompleks sekali. Selama akar masalahnya tidak diselesaikan, maka permasalahan hukum yang kompleks dalam praktik SJSN-BPJS ini tidak akan bisa diselesaikan. Dengan kata lain, sistem ini bukan hanya fasid, tetapi batil. Jika fasid, mungkin bisa dipermak. Tetapi, jika batil, sistem ini tidak lagi bisa dipermak, melainkan harus diganti total dari akar-akarnya. Mempermak sistem yang batil dengan label syariah jelas merupakan kebohongan, pembodohan dan penyesatan kepada umat Islam.
Wallahu a’lam.

Saturday 1 August 2015

Manfaat SIG

Adapun Manfaat SIG dalam bidang perencanaan wilayah dan kota diantaranya adalah sebagai berikut:

  1. Untuk pendataan dan pengembangan jaringan transportasi.
  2. Untuk pendataan pajak bumi dan bangunan
  3. Untuk pendataan dan pengembangan pusat-pusat pertumbuhan dan pembangunan.
  4. Untuk pendataan dan pengembangan permukiman penduduk, kawasan industri, sekolah, rumah sakit, sarana hiburan dan rekreasi serta perkantoran.
  5. Mengetahui luas dan persebaran lahan pertanian serta kemungkinan pola drainasenya.
  6. Mengetahui potensi dan persebaran penduduk.
  7. Untuk mengetahui persebaran berbagai sumber daya alam, misalnya minyak bumi, batubara, emas, besi dan barang tambang lainnya.
  8. Untuk mengetahui persebaran penggunaa lahan.
  9. Untuk pengawasan daerah bencana alam.
  10. dan lain-lain

Monday 6 July 2015

Siapa Pahlawan APBN Sebenarnya? Benarkah Orang Pajak?

Oleh : Sang Pengamat APBN
APBN negara kita sebagian besar dibiayai oleh penerimaan perpajakan. Target untuk tahun 2015 ini total hampir Rp 1.500 trilyun. Sangat besar. Naiknya tunjangan pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang sangat fantastis baru-baru ini secara logika menjadi wajar karena bertanggung jawab mencari duit Rp 1.500 triliun tersebut. Logika manajemen membenarkan, siapa yang mendatangkan uang paling banyak dia berhak mendapatkan bayaran paling tinggi. Cristiano Ronaldo yang mendatangkan penonton dan penjualan jersey paling banyak, berhak mendapat gaji paling tinggi. Seorang pemangkas rumput di Real Madrid jelas berhak mendapatkan gaji, tetapi tentu tidak setinggi Ronaldo. Semua ada proporsinya.
Dengan tercapainya penerimaan negara Rp 1.500 trilyun tersebut diharapkan gaji aparatur negara lainnya termasuk guru-guru, PNS Pemda, anggota KPK, TNI, serta Polri akan ikut terdongkrak. Pengangguran dapat dientaskan dan gaji buruh dengan perbaikan ekonomi juga dapat dinaikkan. Mutu pendidikan, layanan kesehatan, keamanan hingga pemberantasan korupsi bisa dinaikkan. Negara kita memang membutuhkan penerimaan negara yang besar agar bisa maju layaknya Singapura.
Hanya saja, benarkah duit Rp 1.500 trilyun tersebut benar-benar dikumpulkan oleh DJP ?? Sehingga mereka menjadi satu-satunya instansi yang berhak mendapatkan tunjangan paling tinggi ??
Di sini saya ingin membuka mata yang selama ini tertutup, dan membangunkan orang yang selama ini tidur panjang. Banyak informasi yang berlebihan dan juga informasi yang sepotong. Al hasil banyak pengguna informasi yang salah mengambil keputusan dan sudah barang tentu keadilan yang dikorbankan.
Selama ini pihak DJP berkoar-koar meminta kenaikan tunjangan dan mengancam akan memisahkan diri dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) apabila tunjangan itu tidak dinaikkan. Padahal selama ini mereka sudah menikmati tunjangan rahasia yang besarnya sudah signifikan dari pegawai Kemenkeu yang lain. Lebih tinggi dari Bea Cukai, Perbendaharaan, Anggaran, Badan Kebijakan Fiskal, dan lainnya. Sekarang, dengan tunjangan terbaru, mereka melesat lebih tinggi lagi dari pada “teman-temannya” satu kementerian tadi. Pembentukan opini di media massa, pendekatan intensif ke parlemen, serta gerakan lainnya, ditambah momen terpilihnya Presiden baru yang kalem ini, membuahkan hasil. Publik digiring persepsinya seakan-akan merekalah pahlawan APBN negara ini. Bahkan pegawai Kemenkeu yang lain, termasuk Menterinya, seakan tidak punya andil dalam penerimaan APBN.
Tunjangan Kinerja (Tukin) pegawai DJP akhirnya meroket habis. Naik hingga 250%. Tukin pegawai eselon IV DJP (semacam kepala seksi) kini setara dengan tukin pejabat eselon II temannya satu kementerian. Ini ibarat tunjangan Kapten di TNI AU naik setara dengan tunjangan Brigadir Jenderal di TNI AD. Tentu menimbulkan rasa ketidakadilan. Jika tukin dianggap merupakan wujud representasi dari tingkat resiko dan tanggung jawab kerja, maka dapat dikatakan bahwa pejabat eselon II Bea Cukai resiko dan tanggungjawabnya tidak lebih tinggi dari pejabat eselon IV DJP. Ibarat tanggung jawab seorang Kapolda tidak lebih tinggi dari seorang Kasatlantas di Polres. Kenaikan sepihak ini akan menimbulkan disharmoni di internal Kemenkeu. Tinggal tunggu waktu saja. Andaipun tahun depan DJP memisahkan diri dari Kemenkeu dan membentuk Badan Penerimaan Perpajakan langsung di bawah Presiden, kepergiannya dari Kemenkeu tetap tidak indah. Sejarah sudah terlanjur kelam dan pemisahan itu hanya memperburuk situasi. Presiden akan dianggap lemah dan dengan seenaknya disetir oleh DJP. Disharmoni di internal Kemenkeu harus diredam segera.
Anehnya masih ada pegawai kroco di DJP yang tidak bersyukur atas kenaikan ini. Gila nggak , man?? Kerjanya cuma nungguin SPT di Mall-mall saja mengatakan tunjangan belasan juta masih tidak layak?? Mengatakan kenaikan itu hanya menguntungkan pejabat lah dan seterusnya. Padahal pegawai berpangkat paling rendah di DJP sekarang ini tunjangannya masih lebih tinggi dari pejabat eselon V di Bea Cukai. Sungguh sikap “pahlawan APBN” yang “ksatria”.
Tentu menjadi suatu pertanyaan tersendiri bagi kita alasan apa yang begitu hebat sehingga DJP bak makhluk super istimewa sehingga oleh presiden layak mendapatkan tukin yang fantastis. Apakah benar secara AKTUAL/FAKTUAL dilapangan?? Berikut akan saya analisa kebenarannya. Semoga anda semua dapat menerima informasi yang benar sehingga negara ini tidak mengalami kemalangan.
SESAT PIKIR BERMULA DARI KATEGORI DI APBN
Penerimaan perpajakan dalam APBN terdiri dari 2 kategori yaitu Penerimaan Pajak Dalam Negeri dan Penerimaan Pajak Perdagangan Internasional. Pajak Dalam Negeri terdiri dari Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Cukai, PBB, BPHTB, bea meterai, serta lainnya. Sementara Pajak Perdagangan Internasional berupa Bea Masuk atas barang impor dan Bea Keluar atas barang ekspor.
Orang awam mengira Pajak Dalam Negeri dipungut oleh DJP sementara Pajak Perdagangan Internasional oleh Bea Cukai. Tentu saja ini salah. Llau, di APBN dikatakan Bea Cukai memungut Pajak Perdagangan Internasional serta sebagian Pajak Dalam Negeri berupa Cukai. Ternyata ini juga salah. Orang awam dan penyusun kata-kata di APBN ternyata masih terjebak dalam kesesatan berpikir. Yang tidak banyak diketahui publik adalah fakta bahwa ada bagian lain dalam kategori Pajak Dalam Negeri yang juga dipungut oleh Bea Cukai, selain Cukai. Resiko salah pemungutan bagian lain tersebut ada di Bea Cukai, jumlah bagian lain tersebut signifikan, tetapi bagian lain itu diklaim dan diakui oleh negara sebagai hasil kerja DJP. Bagian lain itu adalah pajak-pajak impor.
Pajak-pajak impor adalah pajak yang dikenakan kepada importir atas importasi barang yang masuk ke Indonesia DI SAMPING pungutan bea masuk. Pajak-pajak impor dapat meliputi PPh Impor, PPN Impor, dan PPnBM Impor. Sehingga atas satu barang impor dapat dikenakan pungutan yang meliputi bea masuk, DITAMBAH pajak impor berupa PPN Impor, PPh Impor, dan PPnBM Impor. Semua pungutan tersebut dikenakan dalam satu proses sekaligus dan dalam satu dokumen tagihan. Sayangnya dalam APBN, ketiganya dilebur dalam kategori PPN, PPh, dan PPnBM dalam negeri.
Prosesnya importir menghitung sendiri bea masuk dan pajak impornya, lalu dokumen didaftarkan ke kantor Bea Cukai. Jika importir memberitahukan nilai impor lebih rendah dari seharusnya, maka besaran bea masuk dan pajak impor yang masuk kas negara juga akan kecil. Di sini dokumen akan diverifikasi oleh petugas Bea Cukai. Jika kedapatan kurang bayar, maka kekurangannya akan ditagih oleh Bea Cukai ke importir. Misalnya importir memberitahukan nilai impor Rp 100 juta, maka PPN Impor yang dia bayar Rp 10 juta (10%). Lalu setelah diverifikasi oleh petugas Bea Cukai ternyata nilai impor yang seharusnya adalah Rp 750 juta, maka PPN Impor yang seharusnya juga Rp 75 juta akan ditagih kekurangannya oleh Bea Cukai. Di sini keahlian dan ketelitian petugas Bea Cukai diperlukan. Bagaimana menyelamatkan penerimaan negara yang tadinya cuma mau dibayarkan Rp 10 juta menjadi yang sebenarnya yaitu Rp 75 juta. Itu hanya satu contoh dengan angka yang sangat dikecilkan dari ribuan kejadian sebenarnya. Ketika audit Bea Cukai yang pastinya dilakukan oleh Bea Cukai kedapatan kurang bayar pajak impornya, juga akan ditagih oleh Bea Cukai. Kalau tidak dibayar sampai jatuh tempo juga akan ditegur oleh Bea Cukai, surat paksa oleh Bea Cukai, hingga disita oleh juru sita Bea Cukai. Ketika importir keberatan, maka keberatan juga diproses di Bea Cukai. Jika importir mengajukan tuntutan ke Pengadilan Pajak yang akan menghadapi juga Bea Cukai. Jika importir merasa disewenang-wenangi, yang akan dia laporkan ke polisi juga pejabat Bea Cukai. Semua tanggung jawab dan risiko ada di Bea Cukai. Tapi setelah duit pajak impor tersebut masuk ke kas negara, kenapa tidak dianggap sebagai hasil kerja Bea Cukai? Kenapa justru dianggap sebagai hasil kerja DJP yang dalam proses di atas, sama sekali tidak berperan ?? Apa hanya karena pajak impor itu bernama “pajak” maka harus menjadi hasil kerja Direktorat Jenderal Pajak??
Mari kita semua berpikir.
Jumlah pajak impor sendiri signifikan. Tahun 2014 yang lalu, PPN Impor sekitar Rp 152 trilyun, PPh Impor Rp 39 triliun, dan PPnBM Impor Rp 5 trilyun, atau total ketiganya Rp 197 trilyun. Maka bagian kerja Bea Cukai di kategori Pajak Dalam Negeri adalah Rp 197 trilyun ditambah Cukai Rp 118 trilyun SEHARUSNYA sebesar Rp 315 trilyun. Ditambah bea masuk dan bea keluar sebesar Rp 43 trilyun maka uang negara yang dihasilkan oleh Bea Cukai tahun 2014 kemarin sebenarnya adalah Rp 358 trilyun, atau sekitar 30% dari total penerimaan perpajakan tahun 2014 yang sebesar Rp 1.146 trilyun.
Seharusnya DJP hanya berhak mengklaim hasil kerjanya sebesar sisanya yaitu Rp 1.146 – Rp 358 = Rp 788 trilyun. Itupun di dalam Rp 788 trilyun tersebut masih termasuk Pajak Bumi dan Bangunan dan BPHTB yang sudah dipungut oleh Pemerintah Daerah. Dan juga masih termasuk PPN Hasil Tembakau yang lagi-lagi juga dipungut oleh Bea Cukai.
KONDISI SEKARANG (PAJAK-PAJAK IMPOR DI KLAIM SEPIHAK OLEH DJP)
(dalam rupiah)
Item
2012
2013
2014
Penerimaan pajak dalam negeri (di klaim penerimaan DJP atau seolah-olah penerimaan DJP)
980.518.133.319.319
1.077.306.679.558.270
1.102.781.328.242.120
Penerimaan pajak internasional (penerimaan bea cukai)
49.656.293.809.881
47.456.616.255.001
43.455.518.135.314
KONDISI SEHARUSNYA (PAJAK-PAJAK IMPOR MENJADI BAGIAN DARI KINERJA BEA CUKAI)
(dalam rupiah) – sumber laporan keuangan pemerintah pusat 2012-2013 dan laporan realisasi anggaran kementerian keuangan tahun 2014
No
Item Penerimaan Negara
2012
2013
2014
1
Penerimaan pajak dalam negeri
980.518.133.319.319
1.077.306.679.558.270
1.102.781.328.242.120
dikurangi :
a
PPN impor
126.610.119.566.338
138.989.159.819.891
152.303.848.228.952
b
PPnBM impor
8.422.773.568.033
7.281.335.893.452
5.336.418.791.394
c
PPh impor
31.610.164.408.871
36.332.464.974.534
39.448.793.609.071
d
Cukai
95.027.881.221.457
108.452.081.324.579
118.079.741.002.642
e
(kinerja bea cukai (huruf a s.d d))
291.055.042.012.456
261.670.938.764.699
315.168.801.632.059
f
Penerimaan bersih DJP
718.847.194.554.620
786.251.637.545.814
787.612.526.610.061
2
Penerimaan pajak internasional (kinerja bea cukai)
49.656.293.809.881
47.456.616.255.001
43.455.518.135.314
g
Bea Masuk
28.418.359.044.419
31.621.250.024.724
32.149.310.877.782
h
Bea Keluar
21.237.934.765.462
15.835.366.230.277
11.306.207.257.532
i
Penerimaan bersih DJBC
311.327.232.574.580
338.511.658.267.457
358.624.319.767.373
Oke, katakanlah hasil kerja DJP sebesar Rp 788 trilyun itu (Maaf, mas Pemda!). Sekarang kita lihat rasio efektivitas per pegawainya. Dengan pegawai sekitar 44.500 orang, rasio kontribusi tiap pegawai DJP ke penerimaan APBN adalah sebesar Rp 788 trilyun dibagi 44.500 = Rp 18 milyar per pegawai. Sementara itu dengan pegawai sekitar 13.500, rasio kontribusi tiap pegawai Bea Cukai ke penerimaan APBN adalah sebesar Rp 358 dibagi 13.500 = Rp 27 milyar per pegawai !! Sekarang logika manajemen mana yang mengatakan kalau pegawai yang menghasilkan Rp 27 milyar harus dibayar lebih rendah dari pegawai yang hanya menghasilkan Rp 18 milyar ??
No
Instansi
2012
2013
2014
Penerimaan Bersih (milyar)
åPegawai
Rasio (Milyar/Pgw)
Penerimaan Bersih (milyar)
åPegawai
Rasio (Milyar/Pgw)
Penerimaan Bersih (milyar)
åPegawai
Rasio (Milyar/Pgw)
1
Pajak (DJP)
718.847,20
31.500
22,82
786.251,64
32.000
24,57
787.612,53
44.500
17,70
2
Bea cukai (DJBC)
311.327,23
10.000
31,13
338.511,66
11.000
33,85
358.624,32
13.500
26,56
Padahal, sekali lagi padahal, tugas Bea Cukai tidak hanya melakukan pungutan untuk mengisi APBN saja. Setiap hari dengan hanya sejumlah 13.500 pegawai tersebut harus memfasilitasi impor ekspor di lebih dari seratus pelabuhan, sembari mengawasi apabila dalam kontainer-kontainer itu terdapat barang yang terlarang, narkoba, amunisi, bom, pakaian bekas, dan seterusnya. Prosesnya harus cepat atau dianggap menghambat ekonomi. Belum lagi harus mengawasi ribuan penumpang yang datang berkunjung ke Indonesia di puluhan bandara internasional. Memastikan mereka tidak membawa narkoba, uang tunai berlebihan, dan sebagainya. Belum lagi tugas mengawasi pos perbatasan kita yang sarat masalah sosial kesenjangan antar negara. Kita mendengar di Entikong petugas Bea Cukai bentrok dengan preman karena miras mereka dari Malaysia disita. Di Teluk Nibung bersama TNI, Bea Cukai diserang komplotan penyelundup bawang. Ini belum tugas cukai. Selain memungut, cukai harus juga diawasi. Berapa banyak rokok ilegal yang harus diawasi oleh Bea Cukai, pita cukai palsu, tempat-tempat penjualan minuman keras seperti hotel dan diskotik?
LALU MENGAPA REWARD ITU HANYA UNTUK DJP SAJA ???
Selain rasio per pegawai yang menghasilkan penerimaan negara lebih tinggi, tugas Bea Cukai juga lebih kompleks dari DJP, tapi kenyataan tunjangan mereka jauh lebih rendah menjadikan organisasi Kemenkeu tidak sehat. Kesenjangannya TERLALU LEBAR. Sudah saya sebutkan di atas, pegawai paling rendah pangkatnya di DJP itu saja tukinnya masih lebih tinggi dari pejabat eselon V di Bea Cukai. Belum lagi nanti anggapan tidak bergunanya aparatur Perbendaharaan yang mengelola pencairan APBN, aparatur Anggaran yang merumuskan APBN, aparatur DJKN yang mengamankan aset negara, serta aparatur Badan Kebijakan Fiskal yang menggodok kebijakan perpajakan sehingga berbuah seribuan trilyun tadi. Mereka semua berpikir, “Kita bekerja tapi yang enak orang pajak saja”. Sekarang ada stigma Kemenkeu itu terdiri dari dua saja yaitu pajak dan non pajak. Bawang merah dan bawang putih. Upaya tutup mulut melalui biaya mobilitas yang tidak seberapa besarnya tidak akan meredam gejolak dari eselon I non pajak di Kemenkeu.
Penghasilan merupakan hak dasar pegawai. Ketimpangan penghasilan yang begitu tajam di satu baju kementerian jelas berarti merusak hak-hak dasar pegawai non pajak. Ini adalah permasalahan organisasi yang sangat serius. Reformasi birokrasi yang sudah dijalankan dengan baik sejak jaman Sri Mulyani bisa porak poranda dalam sekejap hanya karena permasalahan yang tampak sepele ini.
Tapi kan orang DJP sudah menambah jam kerjanya sampai jam 19.00?? Sebenarnya hal ini tidak jelas perhitungannya. Apalagi jika dihitung beban negara dalam pembiayaan listrik kantor dan langganan internetnya. Malah beban negara semakin besar. Apalagi korelasinya dengan penerimaan pajak-pajak impor, tidak berhubungan sama sekali. Mau orang DJP nongkrong di kantornya 25 jam sehari pun, tidak akan berpengaruh pada pundi-pundi pajak impor ke kas negara.
Padahal, sekali lagi padahal, bekerja 24 jam dalam sehari itu sudah menjadi kebiasaan sejak lama di Bea Cukai. Mereka yang patroli di laut memantau penyelundupan tentu tidak pulang setiap jam 19.00, bukan? Masak dari tengah Laut Arafuru tiap hari balik ke kantor buat ngantri di depan mesin absen terus hang out, update status di facebook “mengabdi pada negeri”, membroadcast meme “sholat dulu semoga penerimaan kita tercapai”, sambil cekikikan di whatsaap ngobrolin mau beli tanah apa bisnis MLM biar tukinnya beranak pinak? Kalau ada kapal berangkat ekspor jam 01.00 dini hari, memangnya tidak ada piket dari Bea Cukai? Kalau ada pesawat dari luar negeri tiba jam 23.00 malam apa tidak dilayani dan diperiksa barang bawaannya karena petugas Bea Cukainya sudah pulang jam 19.00 demi tukin? Padahal tukin mereka hanya sebesar duit receh tukin DJP.
Sudah saatnya Menteri Keuangan berpikir adil dan tegas. Berteriaknya DJP dengan mengancam pemisahan diri yang dipoles dengan kajian bualan dari OECD dan semacamnya itu tak ubahnya Robin van Persie yang mengancam hengkang dengan alasan tidak kunjung juara padahal hanya karena gajinya tidak dinaikkan oleh Arsenal. Penggemar Arsenal jelas sudah muak dan antipati terhadap pemain mata duitan seperti itu.
Menteri Keuangan sebaiknya juga segera mengganti Dirjen Bea Cukai dengan orang yang lebih cakap dan mengerti anggotanya.
Kepada pimpinan Bea Cukai, sebaiknya jangan bersikap seperti seorang putri malu. Organisasi Anda sudah menjadi korban sejarah berkali-kali. Anda tentu masih ingat saat kewenangan Anda disunat oleh Orde Baru di tahun 1985, bukan? Kenapa hasil kerja anggota Anda diklaim sepihak oleh pihak lain, Anda diam saja? Bukankah Anda sering mencitrakan diri di media sebagai sosok yang gagah dan berani? Dididik oleh Kopassus, berbaret seperti pramuka dan perempuannya suka makan ular? Apa warna seragam Anda yang seperti satuan pengamanan mengharuskan Anda bersikap penurut seperti mereka?