Saat seorang anak kesasar ke sebuah kelas ilmu sosial yang seharusnya bisa dipandang dari sudut ilmiah
Wednesday, 12 October 2016
Tuesday, 11 October 2016
Kerajaan Samudera Pasai
Pada tahun 1267 ada sebuah kerajaan besar yang muncul di tanah Melayu, yakni Samudera Pasai. Kerajaan Samudera Pasai muncul menggantikan Kerajaan Perlak yang semakin mengalami kemunduran.
Seorang penguasa lokal di daerah Samudera (samudera mana?) bernama Marah Silu (Meurah Silu) dibantu oleh Syekh Ismail (seorang syarif dari Mekah) berhasil mempersatukan daerah Samudera dan Pasai. Kedua daerah tersebut kemudian dijadikan sebuah kerajaan dengan nama Samudera Pasai.
Sejarah Berdirinya Kerajaan Samudera Pasai
Kerajaan Samudera Pasai juga dikenal dengan Samudera Darussalam atau Samudera Pasai. Ini merupakan kerajaan Islam pertama yang terletak di pesisir pantai utara Sumatera, kurang lebih di sekitar kota Lhokseumawe dan Aceh Utara, Provinsi Aceh, Indonesia.
Kata "pasai" adalah sinonim dari "pantai", asalnya pun sama. Sedangkan, samudera tidak lain ialah laut. Maka negara Pasai adalah negara yang berada di tepi laut. Jadi, sama saja dengan negara Samudera
Belum begitu banyak bukti arkeologis tentang kerajaan ini untuk dapat digunakan sebagai bahan kajian sejarah. Namun, beberapa sejarawan mulai menelusuri keberadaan kerajaan ini bersumberkan Hikayat Raja-Raja Pasai, dan ini dikaitkan dengan beberapa makam raja serta penemuan koin berbahan emas dan perak dengan tertera nama rajanya.
Berdasarkan Hikayat Raja-Raja Pasai, kerajaan ini didirikan oleh Marah Silu, setelah sebelumnya ia menggantikan seorang raja yang bernama Sultan Malikul Nasser. Marah Silu sebelumnya berada di suatu kawasan yang disebut Sumerlangga, kemudian setelah naik tahta bergelar Sultan Malikus Saleh. Ia wafat pada tahun 696 H atau 1297 M.
Kejayaan Samudera Pasai yang berada di daerah Samudera Geudong, Aceh Utara, diawali dengan penyatuan sejumlah kerajaan kecil di daerah Peurelak, seperti Rimba Jreum dan Seumerlang. Sultan Malikus Saleh adalah salah seorang keturunan kerajaan itu yang menaklukkan beberapa kerajaan kecil dan mendirikan Kerajaan Samudera pada tahun 1270 M
Pemerintahan Sultan Malikus Saleh dilanjutkan oleh putranya, Sultan Muhammad Malikul Zahir/Sultan Muhammad Malik al Tahir dari perkawinannya dengan putri Raja Perlak, Putri Ganggang Sari. Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Malikul Zahir, koin emas sebagai mata uang telah diperkenalkan di Pasai, selang dengan berkembangnya Pasai menjadi salah satu kawasan perdagangan sekaligus tempat pengembangan dakwah agama Islam.
Sekitar tahun 1326, Sultan Malikul Zahir meninggal dunia, lalu digantikan oleh anaknya, Sultan Mahmud Malikul Zahir, dan memerintah sampai tahun 1345. Pada masa pemerintahannya, ia dikunjungi oleh Ibnu Batutah, yang menceritakan bahwa sultan di negeri Samtrah (Samudera) menyambutnya dengan penuh keramahan, dan penduduknya menganut madzhab Syafi'i.. Namun terjadi perisriwa penting di Kerajaan Samudera Pasai saat putra Sultan Malikul Saleh yang bernama Abdullah memisahkan diri ke daerah Aru (Barumun)
Samudera Pasai juga menerima serangan dari Kerajaan Siam. Selanjunya, pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Malikul Zahir, putra Mahmud Malikul Zahir, datanglah serangan dari Majapahit tahun 1345 dan 1350, yang menyebabkan Sultan Pasai terpaksa melarikan diri dari ibu kota kerajaan. Namun tertolong oleh Laksamana Chengho. Kerajaan Samudera Pasai akhirnya runtuh setelah serangan Portugal pada tahun 1521.
Berikut urutan Raja-Raja yang memerintah di Samudera Pasai:
Seorang penguasa lokal di daerah Samudera (samudera mana?) bernama Marah Silu (Meurah Silu) dibantu oleh Syekh Ismail (seorang syarif dari Mekah) berhasil mempersatukan daerah Samudera dan Pasai. Kedua daerah tersebut kemudian dijadikan sebuah kerajaan dengan nama Samudera Pasai.
Sejarah Berdirinya Kerajaan Samudera Pasai
Kerajaan Samudera Pasai juga dikenal dengan Samudera Darussalam atau Samudera Pasai. Ini merupakan kerajaan Islam pertama yang terletak di pesisir pantai utara Sumatera, kurang lebih di sekitar kota Lhokseumawe dan Aceh Utara, Provinsi Aceh, Indonesia.
Kata "pasai" adalah sinonim dari "pantai", asalnya pun sama. Sedangkan, samudera tidak lain ialah laut. Maka negara Pasai adalah negara yang berada di tepi laut. Jadi, sama saja dengan negara Samudera
Belum begitu banyak bukti arkeologis tentang kerajaan ini untuk dapat digunakan sebagai bahan kajian sejarah. Namun, beberapa sejarawan mulai menelusuri keberadaan kerajaan ini bersumberkan Hikayat Raja-Raja Pasai, dan ini dikaitkan dengan beberapa makam raja serta penemuan koin berbahan emas dan perak dengan tertera nama rajanya.
Berdasarkan Hikayat Raja-Raja Pasai, kerajaan ini didirikan oleh Marah Silu, setelah sebelumnya ia menggantikan seorang raja yang bernama Sultan Malikul Nasser. Marah Silu sebelumnya berada di suatu kawasan yang disebut Sumerlangga, kemudian setelah naik tahta bergelar Sultan Malikus Saleh. Ia wafat pada tahun 696 H atau 1297 M.
Kejayaan Samudera Pasai yang berada di daerah Samudera Geudong, Aceh Utara, diawali dengan penyatuan sejumlah kerajaan kecil di daerah Peurelak, seperti Rimba Jreum dan Seumerlang. Sultan Malikus Saleh adalah salah seorang keturunan kerajaan itu yang menaklukkan beberapa kerajaan kecil dan mendirikan Kerajaan Samudera pada tahun 1270 M
Pemerintahan Sultan Malikus Saleh dilanjutkan oleh putranya, Sultan Muhammad Malikul Zahir/Sultan Muhammad Malik al Tahir dari perkawinannya dengan putri Raja Perlak, Putri Ganggang Sari. Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Malikul Zahir, koin emas sebagai mata uang telah diperkenalkan di Pasai, selang dengan berkembangnya Pasai menjadi salah satu kawasan perdagangan sekaligus tempat pengembangan dakwah agama Islam.
Sekitar tahun 1326, Sultan Malikul Zahir meninggal dunia, lalu digantikan oleh anaknya, Sultan Mahmud Malikul Zahir, dan memerintah sampai tahun 1345. Pada masa pemerintahannya, ia dikunjungi oleh Ibnu Batutah, yang menceritakan bahwa sultan di negeri Samtrah (Samudera) menyambutnya dengan penuh keramahan, dan penduduknya menganut madzhab Syafi'i.. Namun terjadi perisriwa penting di Kerajaan Samudera Pasai saat putra Sultan Malikul Saleh yang bernama Abdullah memisahkan diri ke daerah Aru (Barumun)
Samudera Pasai juga menerima serangan dari Kerajaan Siam. Selanjunya, pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Malikul Zahir, putra Mahmud Malikul Zahir, datanglah serangan dari Majapahit tahun 1345 dan 1350, yang menyebabkan Sultan Pasai terpaksa melarikan diri dari ibu kota kerajaan. Namun tertolong oleh Laksamana Chengho. Kerajaan Samudera Pasai akhirnya runtuh setelah serangan Portugal pada tahun 1521.
Berikut urutan Raja-Raja yang memerintah di Samudera Pasai:
- Tahun 1267-1297
- Kerajaan Samudera Pasai dipimpin oleh Sultan Malikus Saleh atau Marah Silu. Ia merupakan sultan pertama yang memimpin Kerajaan Samudera Pasai.
- Tahun 1297-1326
- Kerajaan Samudera Pasai di bawah pimpinan Sultan Muhammad Malikul Zahir, yang merupakan anak dari Sultan Malikus Saleh. Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Malikul Zahir, koin emas mulai diperkenalkan kepada masyarakat di Kerajaan Samudera Pasai.
- Tahun 1326-1345
- Kerajaan Samudera Pasai pada masa ini dipimpin oleh Sultan Mahmud Malikul Zahir, yang merupakan anak dari Sultan Muhammad Malikul Zahir, sekaligus cucu dari Sultan Malikus Saleh.
- Tahun 1345-1383
- Kerajaan Samudera Pasai pada masa ni berada di bawah pimpinan Sultan Ahmad Malikul Zahir. Pada masa pemerintahannya Kerajaan Samudera Pasai diserang oleh Majapahit.
- Tahun 1383-1405
- Kerajaan Samudera Pasai pada masa ini dipimpin oleh Sultan Zainal Abidin Malikul Zahir.
- Tahun 1405-1412
- Pada masa ini, Kerajaan Samudera Pasai dipimpin oleh Sultanah Nahrasiyah, yang merupakan raja perempuan, sekaligus janda dari Sultan Kerajaan Samudera Pasai sebelumnya.
- Tahun 1405-1412
- Pada masa ini, Kerajaan Samudera Pasai dipimpin oleh Sultan Sallah ad-Din, yang menikahi Sultanah Nahrasiyah, pemimpin kerajaan Samudera Pasai sebelumnya.
- Tahun 1412-1455
- Pada masa ini, Kerajaan Samudera Pasai dipmpin ole Sultan Abu Zaid Malikul Zahir, yang mengirim utusan ke Cina.
- Tahun 1455-1477
- Kerajaan Samudera Pasai pada masa ini dipimpin oleh Sultan Mahmud Malikul Zahir II.
Friday, 24 June 2016
Sunday, 5 June 2016
Kerajaan Kediri
Meskipun Airlangga telah membagi kerajaannya menjadi dua, perang saudara antara kedua putranya tetap terjadi. Menurut prasasti Turun Hyang B (1045), Mapanji Garasakan (Raja Jenggala) mengadakan srangan terhadap Samarawijaya (Panjalu). Garasaka menggunakan cap kerajaan garudamukha seperti yang dipakai oleh Airlangga untuk menunjukkan dirinya sebagai putra Airlangga
Pada tahun 1052, terjadi peperangan untuk memperebutkan kekuasaan di antara kedua belah pihak. Panji Garasakan dapat mengalahkan Samarawijaya, sehingga Panji Garasakan yang berkuasa atas wilayah itu. Di Jenggala kemudian berkuasa raja-raja pengganti Panji Garasakan. Pada tahun 1059, raja yang berkuasa di Jenggala adalah Samarotsaha. Sayangnya setelah itu tidak terdengar berita mengenai Kerajaan Panjalu dan Jenggala. Baru pada tahun 1104, tampil Kerajaan Panjalu dengan raja Jayawangsa. Kerajaan ini lebih dikenal dengan nama Kerajaan Kediri dengan beribu kota di Daha.
Pada tahun 1117, Bameswara tampil sebagai Raja Kediri. Pengganti Bameswara adalah Jawayaba (1135-1159) yang merupakan raja terbesar dan termashyur dari Kerajaan Kediri. Lencana kerajaannya disebut narasingha. Nama Jayabaya terdapat daam kitab Bharatayudha karya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Setelah Jayabaya, raja yang memerinta Kerajaan antara lain adalah Sarewswara (1159-1169), Sri Ayeswara (1169-1171), Sri Gandra (1181-1182), Kameswara (1182-?) dan Kertajaya (1185-1222).
Peninggalan Kerajaan Kediri adalah Prasasti Hantang atau Ngantang (1135), Talan (1136), dan Prasasti Desa Jepun (1144). Ketiga prasasti ini merupakan peninggalan dari masa Raja Bameswara, di mana prasasti Hantang memuat tulisan panjalu jayati, artinya panjalu menang.
Pada masa pemerintahan Sri Kameswara (1182-1185), ditulis kakawin Smaradahana oleh Mpu Darmaja. Kakawin tersebut berisi puji-pujian terhadap raja yang menyatakan bahwa raja adalah tulisan Dewa Kamajaya sedangkan istrinya merupakan titisan dari Dewi Ratih. Kemudian karya sastra lain yang muncul adalah Kitab Lubdaka karangan Mpu Tin Akung.
Raja terakhir adalah Srengga atau Kertajaya atau Dandang Gendis (1185-1222) yang dikenal sebagai raja yang kejam. Pada masa pemerintahannya terjadi pertentangan antara raja dan para pendeta atau kaum brahmana. Pertentangan ini terjadi karena Kertajaya berlaku sombong dan berani melanggar adat. Hal ini memperlemah pemerintahan di Kediri. Para brahmana kemudian mencari perlinungan kepada Ken Arok yang merupakan penguasa di Tumapel.
Pada tahun 1052, terjadi peperangan untuk memperebutkan kekuasaan di antara kedua belah pihak. Panji Garasakan dapat mengalahkan Samarawijaya, sehingga Panji Garasakan yang berkuasa atas wilayah itu. Di Jenggala kemudian berkuasa raja-raja pengganti Panji Garasakan. Pada tahun 1059, raja yang berkuasa di Jenggala adalah Samarotsaha. Sayangnya setelah itu tidak terdengar berita mengenai Kerajaan Panjalu dan Jenggala. Baru pada tahun 1104, tampil Kerajaan Panjalu dengan raja Jayawangsa. Kerajaan ini lebih dikenal dengan nama Kerajaan Kediri dengan beribu kota di Daha.
Pada tahun 1117, Bameswara tampil sebagai Raja Kediri. Pengganti Bameswara adalah Jawayaba (1135-1159) yang merupakan raja terbesar dan termashyur dari Kerajaan Kediri. Lencana kerajaannya disebut narasingha. Nama Jayabaya terdapat daam kitab Bharatayudha karya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Setelah Jayabaya, raja yang memerinta Kerajaan antara lain adalah Sarewswara (1159-1169), Sri Ayeswara (1169-1171), Sri Gandra (1181-1182), Kameswara (1182-?) dan Kertajaya (1185-1222).
Peninggalan Kerajaan Kediri adalah Prasasti Hantang atau Ngantang (1135), Talan (1136), dan Prasasti Desa Jepun (1144). Ketiga prasasti ini merupakan peninggalan dari masa Raja Bameswara, di mana prasasti Hantang memuat tulisan panjalu jayati, artinya panjalu menang.
Pada masa pemerintahan Sri Kameswara (1182-1185), ditulis kakawin Smaradahana oleh Mpu Darmaja. Kakawin tersebut berisi puji-pujian terhadap raja yang menyatakan bahwa raja adalah tulisan Dewa Kamajaya sedangkan istrinya merupakan titisan dari Dewi Ratih. Kemudian karya sastra lain yang muncul adalah Kitab Lubdaka karangan Mpu Tin Akung.
Raja terakhir adalah Srengga atau Kertajaya atau Dandang Gendis (1185-1222) yang dikenal sebagai raja yang kejam. Pada masa pemerintahannya terjadi pertentangan antara raja dan para pendeta atau kaum brahmana. Pertentangan ini terjadi karena Kertajaya berlaku sombong dan berani melanggar adat. Hal ini memperlemah pemerintahan di Kediri. Para brahmana kemudian mencari perlinungan kepada Ken Arok yang merupakan penguasa di Tumapel.
Kerajaan Medang Kamulan
Lokasi Kerajaan
Berdasarkan penemuan beberapa prasasti, dapat diketahui bahwa Kerajaan Medang Kamulan terletak di muara Sungai Brantas, dengan ibukotanya bernama Watan Mas. Kerajaan itu didirikan oleh Mpu SIndok, setelah ia memindahkan pusat pemerintahannya dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Wilayah kekuasaan Kerajaan Medang Kamulan pada masa pemerintahan Mpu Sindok mencakup Nganjuk di sebelah barat, Pasuruan di sebelah timur, Surabaya di sebelah utara dan Malang di sebelah selatan. Dalam perkembangan selanjutnya, wilayah kekuasaan Kerajaan Medang Kamulan mencakup hampir seluruh wilayah Jawa Timur.
Sumber Sejarah
Sumber sejarah Kerajaan Medang Kamulan berasal dari berita asing dan prasasti-prasasti.
Berita Cina berasal dari catatan-catatan yang ditulis pada zaman Dinasti Sung. Catatan-catatan Kerajaan Sung itu menyatakan bahwa antara kerajaan yang berada di Jawa dan Kerajaan Sriwijaya sedang terjadi permusuhan, sehingga ketika Duta Sriwijaya pulang dari Cina (tahun 990 M) terpaksa haru tingal dulu di Campa sampai peperangan itu reda. Pada tahun 992 M, pasukan dari Jawa telah meninggalkan Sriwijaya dan Kerajaan Medang Kamulan dapat memajukan pelayaran dan perdagangan. Di samping itu, tahun 992 M tercatat pada catatan-catatan negeri Cina tentang datangnya duta persahabatan dari Jawa.
Berdasarkan penemuan beberapa prasasti, dapat diketahui bahwa Kerajaan Medang Kamulan terletak di muara Sungai Brantas, dengan ibukotanya bernama Watan Mas. Kerajaan itu didirikan oleh Mpu SIndok, setelah ia memindahkan pusat pemerintahannya dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Wilayah kekuasaan Kerajaan Medang Kamulan pada masa pemerintahan Mpu Sindok mencakup Nganjuk di sebelah barat, Pasuruan di sebelah timur, Surabaya di sebelah utara dan Malang di sebelah selatan. Dalam perkembangan selanjutnya, wilayah kekuasaan Kerajaan Medang Kamulan mencakup hampir seluruh wilayah Jawa Timur.
Sumber Sejarah
Sumber sejarah Kerajaan Medang Kamulan berasal dari berita asing dan prasasti-prasasti.
- Berita Asing
Berita Cina berasal dari catatan-catatan yang ditulis pada zaman Dinasti Sung. Catatan-catatan Kerajaan Sung itu menyatakan bahwa antara kerajaan yang berada di Jawa dan Kerajaan Sriwijaya sedang terjadi permusuhan, sehingga ketika Duta Sriwijaya pulang dari Cina (tahun 990 M) terpaksa haru tingal dulu di Campa sampai peperangan itu reda. Pada tahun 992 M, pasukan dari Jawa telah meninggalkan Sriwijaya dan Kerajaan Medang Kamulan dapat memajukan pelayaran dan perdagangan. Di samping itu, tahun 992 M tercatat pada catatan-catatan negeri Cina tentang datangnya duta persahabatan dari Jawa.
- Prasasti
- Prasasti dari Mpu Sindok, dari Desa Tangeran (daerah Jombang) tahun 933 M menyatakan bahwa Raja Mpu Sindok memerintah bersama permaisurinya Sri Wardhani Pu Kbin
- Prasasti Mpu Sindok dari daerah Bangil menyatakan bahwa Raja Mpu SIndok memerintahkan pembuatan sebuah candi sebagai tempat pendharmaan ayahnya dari permaisurinya yang bernama Rakyat Bawang
- Prasasti Mpu Sindok dari Lor (dekat Nganjuk) tahun 939 M menyatakan bahwa Raja Mpu Sindok memerintah pembuatan candi yang bernama Jayamrata dan Jayastambho (tugu kemenangan) di Desa Anyok Lodang
- Prasasti Calcuta, prasasti dari Raja Airlangga yang menyebutkan silsilah keturunan dari Raja Mpu Sindok
Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan Sriwijaya merupakan
salah satu kerajaan yang pernah besar dan jaya di Indonesia. Kerajaan ini juga
disebut negara nasional pertama karena pada masa kejayaannya, daerahnya
meliputi Indonesia bagian barat, Semenanjung Malaya, Siam bagian selatan,
sebagian Filipina, dan Brunei Darussalam di Pulau Kalimantan. Selain itu,
berdasarkan temuan peninggalannya dapat diketahui daerah yang tunduk dengan Sriwijaya misalnya
prasasti Karang Berahi di Jambi, prasasti Kota Kapur di Pulau Bangka dan Candi
Muara Takus di Riau.
Sedangkan mengenai pusat
pemerintahan, G. Coedes memperkirakan Sriwijaya berada di Palembang. Namun,
beberapa ahli mempunyai pendapat lain, seperti r.C. Majumdar (Pulau Jawa dan
selanjutnya Ligor). H.G Quatrich Wales (Chaiya atau Perak), J.I. Moens (berawal
di Kedah dan berpindah di Muara Takus), Soekmono (Jambi) dan Boechari di Mukha
Upang, Palembang.
Faktor-faktor pendorong
perkembangan Kerajaan Sriwijaya:
- Letaknya yang strategis di Selat Malaka yang merupakan jalur pelayaran dan perdagangan internasional
- Kemajuan kegiatan perdagangan antara India dan Cina melintasi selat Malaka sehingga membawa keuntungan yang besar bagi Sriwijaya
- Keruntuhan Kerajaan Funan. Kerajaan Funan memegang peranan penting dalam percaturan politik di Asia Tenggara selama kurang lebih 6 abad. Setelah kerajaan ini runtuh, Sriwijaya menggantikan kedudukannya.
Bukti-Bukti Sejarah
Nama Sriwijaya sudah terkenal
dalam perdagangan internasional. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya
berbagai sumber yang menerangkan mengenai keberadaan Kerajaan Sriwijaya,
seperti di bawah ini.
- Dari berita Arab diketahui bahwa pedagang Arab melakukan kegiatan perdagangan di Kerajaan Sriwijaya, bahkan di sekitar Sriwijaya ditemukan peninggalan bekas perkampungan orang Arab.
- Dari berita India diketahui bahwa Kerajaan Sriwijaya pernah menjalin hubungan dengan Kerjaan India, seperti Nalanda dan Colamandala bahkan Kerajaan Nalanda mendirikan prasasti yang menerangkan tentang Sriwijaya.
- Dari berita Cina diketahui bahwa para pedagang Cina sering singgah di Kerajaan Sriwijaya sebelum melanjutkan perjalanan ke India dan Arab. Berita Cina juga menyebutkan pada abad ke-7 di Sumatera telah ada beberapa kerajaan, antara lain Kerajaan Tulang Bawang di Sumatera Selatan, Melayu di Jambi, dan Sriwijaya. Keberadaan Kerajaan Sriwijaya ini dapat diperoleh informasinya, misalnya, dari cerita pendeta Buddha dari Tiongkok, I-tsing. Pada tahun 671, ia berangkat dari Kanton ke India, kemudian singgah terlebih dahulu di Sriwijaya selama enam bulan untuk belajar tata bahasa Sanskerta. Pada tahun 685, dia kembali ke Sriwijaya dan menetap selama empat tahun untuk menerjemahkan berbagai kitab suci Buddha dari bahasa Sanskerta ke bahasa Tionghoa. Karena dalam kenyataannya, dia tidak dapat menyelesaikan sendiri pekerjaan itu, maka pada tahun 689, dia pergi ke Kanton untuk mencari pembantu dan segera kembali lagi ke Sriwijaya. Selanjutnya, baru pada tahun 695, I-tsing pulang ke Tiongkok
Prasasti-prasasti dari Kerajaan
Sriwijaya sebagai berikut:
- Prasasti Kedukan Bukit.. Prasasti ini ditemukan di tepi Sungai Talang, dekat Palembang. Isinya antara lain menerangkan seseorang bernama Dapunta Hyang yang menngadakan perjalanan suci (siddhayatna) dengan menggunakan perahu. Ia berangkat dari Minangaratamwan dengan membawa tentara sebanyak 20.000 orang
- Prasasti Talang Tuwo.. Prasasti Talang Tuwo ditemukan di sebelah barat kota Palembang di daerah Talang Tuwo. Prasasti ini berisi 14 baris tulisan dalam bahasa Melayu Kuno da ditulus dengan huruf Pallawa. Isinya tentang pembuatan taman (kebun) Sriksetra atas perintah Punta Hyang Sri Jayanasa dengan tujuan untuk kemakmuran semua makhluk. Di samping itu, ada juga doa dan harapan yang jelas menunjukkan sifat agama Hindu
- Prasasti Kota Kapur. Prasasti Kota Kapur ditemukan di Pulau Bangka. Isinya adalah permintaan kepada para dewa untuk menjaga kedatuan Sriwijaya dan mengjukum setiap orang yang bermaksud jahat.
- Prasasti Telaga Batu. Di Telaga Batu, dekat Palembang ditemukan sebuah prasasti berbahasa Melayu Kuno dan berhuruf Pallawa. Prasasti ini tidak ada angka tahunnya dan isinya tentang kutukan-kutukan yang sangat seram kepada siapa saja yang melakukan kejahatan dan tidak taat kepada perintah-perintah raja.
- Prasasti Karang Berahi. Prasasti Karang Berahi ditemukan di Jambi. Isi prasasti ini sama dengan isi Prasasti Kota Kapur. Beberapa prasasti yang lain, yakni Prasasti Ligor dan Prasasti Nalanda.
- Prasasti Ligor. Prasasti Ligor berangka tahun 775 dan ditemukan di Ligor, Semenanjung Melayu.
Beberapa prasasti Sriwijaya
menggunakan huruf Pallawa dan Bahasa Melayu Kuno. Dalam Prasasti Nalanda
disebutkan bahwa Balaputradewa dari Swarnadwipa (nama lain dari Pulau Sumatera)
mengajukan permintaan kepada Raja Dewapaladewa dari Benggala untuk mendirikan
biara bagi para mahasiswa/pendeta Sriwijaya yang belajar di sana. Balaputradewa
adalah putra dari Samaragrawira/Samaratungga dari Dinasti Syailendra yang
memerintah di Jawa Tengah tahun 812 – 624 M.
Sejak abad ke-7, Kerajaan
Sriwijaya sudah menjadi pusat agama Buddha Mahayana di Asia Tenggara. I- tsing
seorang musyafir Cina, menerangkan bahwa pendeta-pendeta Cina datang ke
Sriwijaya untuk belajar bahasa Sanskerta dan menyalin kitab-kitab suci agama
Buddha. Antara tahun 1011 – 1023 M datanglah pendeta dari Tibet bernama Attisa
untuk belajar agama Buddha kepada Guru Besar Sriwijaya bernama Dharmakirti.
Sakyakirti seorang guru besar Sriwijaya yang lain menuliskan buku berjudul
Hastadandasastra.
Letak Sriwijaya strategis membawa
keberuntungan dan kemakmuran. Walaupun demikian, letaknya yang strategis juga
dapat mengundang bangsa lain menyerang Sriwijaya. Beberapa faktor penyebab
kemunduran dan keruntuhan Kerajaan Sriwijaya adalah sebagai berikut:
- Adanya serangan dari Raja Dharmawangsa 990 M. Pada waktu itu yang berkuasa di Sriwijaya Raja Sri Sudamani Warmadewa. Walaupun serangan ini tidak berhasil, tetapi telah melemahkan Sriwijaya.
- Adanya serangan dari kerajaan Cola Mandala yang diperintah oleh Raja Rajendracoladewa. Serangan ini dilakukan pada tahun 1023 dan 1030 ditujukan ke Semenanjung Malaka. Serangan ini berhasil menawan Raja Sriwijaya. Serangan ketiga dilakukan pada tahun 1068 M dilakukan oleh Wirarajendra, cucu Rajendracoladewa.
- Munculnya Kerajaan Islam, Samudera Pasai yang mengambil alih pamor Sriwijaya
- Adanya serangan Kerajaan Majapahit dipimpin Adityawarman atas perintah Mahapatih Gajah Mada, 1477. Sehingga Sriwijaya menjadi taklukan Majapahit
Beberapa faktor penyebab lain
mundurnya Kerajaan Sriwijaya di antaranya adalah sebagai berikut.
- Faktor geografis, berupa perubahan letak Kerajaan Sriwijaya. Perubahan ini erat kaitannya dengan pengendapan lumpur Sungai Musi yang mengakibatkan letak ibu kota Kerajaa Sriwijaya tidak lagi dekat dengan pantai. Akibatnya ibu kota Sriwijaya kurang diminati lagi oleh pedagang internasional.
- Lemahnya kontrol pemerintahan pusat sehingga banyak daerah yang melepaskan diri
- Berkembangnya kekuatan politik di Jawa dan India. Sriwijaya mendapat serangan dari Raja Rajendracola dari Colamandala tahun 1017 dan 1025. Pada tahun 1025, serangan itu diulangi sehingga Raja Sriwijaya, Sri Sanggramawijayattunggawarman ditahan oleh pihak Kerajaan Colamandala. Tahun 1275, Raja Kertanegara dari Singosari melakukan ekspedisi Pamalayu. Hal itu menyebabkan daerah Melayu lepas dari kekuasaan Sriwijaya. Akhir dari Kerajaan Sriwijaya terjadi saat armada laut Majapahit menyerang Sriwijaya tahun 1377.
Subscribe to:
Posts (Atom)